Senin, 28 November 2005

ABDULLAH MAKHMUD HENDROPRIYONO: "AMERIKA SENDIRI TIDAK TAHU"


Umar al-Faruq berhasil kabur dari penjagaan ketat di penjara Bagram, Afganistan. Dunia pun terkejut. Peristiwa itu sebenarnya terjadi pada Juli lalu, namun kabarnya baru terkuak awal bulan ini. Faruq, menurut Amerika Serikat, berperan sebagai tangan kanan Usamah bin Ladin dalam organisasi Al-Qaidah. Dalam interogasinya, dia mengaku berada di belakang aksi pengeboman sejumlah gereja pada 2000 di berbagai tempat di Indonesia, serta mendalangi upaya pembunuhan Megawati Soekarnoputri ketika masih menjabat sebagai presiden.
Wajar jika pemerintah Indonesia merasa kecewa atas lolosnya Faruq. �Wah, kita kecewa berat," kata mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Abdullah Makhmud Hendropriyono. Hendropriyono bersama timnya menangkap Faruq di Bogor, Jawa Barat, 5 Juni 2002. Faruq hanya ditahan beberapa hari, kemudian dikirim ke penjara Bagram di bawah pengawasan tentara Amerika Serikat. Namun, Jenderal Purnawirawan berusia 60 tahun ini menolak jika penangkapan itu disebut sebagai order dari Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA).
Koran Washington Post pekan lalu melaporkan bahwa Hendropriyono bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam bidang apa pun. Hendro disebut-sebut kerap menjalin kontak dengan mantan Direktur CIA George Tennet. Sejak adanya kerja sama itu, Badan Intelijen Nasional (BIN) mendapatkan tangkapan-tangkapan besar.
Hendropriyono menampik klaim sepihak tersebut. Menurut dia, penangkapan Umar al-Faruq adalah hasil kerja BIN yang telah menyusup dalam jaringan teroris itu lama sebelumnya. Bahkan dia mengaku sempat kebingungan mendeportasi Faruq karena semua negara menolaknya. Wartawan Tempo Agung Rulianto, Hanibal W.Y. Wijayanta, dan Widiarsi Agustina menemui Hendropriyono di kantor pengacara Hendropriyono Law Office di Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu. Inilah petikan wawancara tersebut:
Mengapa Umar al-Faruq bisa lolos dari penjara Bagram, Afganistan, yang dijaga superketat?
Tahanan bisa lepas itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, melarikan diri sendiri. Kemungkinan kedua, dia melarikan diri dengan dibantu orang dalam. Nah, kalau orang bisa lepas, padahal penjaranya ketat, itu pasti dibantu. Pada kemungkinan kedua itu bisa jadi dilepas untuk mendapatkan yang lebih besar dari dia. Atau, kemungkinan dilepas untuk ditiadakan. Jadi, dia dilepas lalu ditangkap, tapi dalam keadaan mati. Kemungkinan itu sehari-hari dalam dunia intelijen.
Apakah Al-Faruq dilepas untuk membongkar jaringan teroris di Indonesia, seandainya memang dilepas?
Kalau rencana itu dilakukan tanpa koordinasi dengan Kepala BIN atau Presiden, maka ini perbuatan sangat bodoh, karena pasti akan gagal. Waktu dia kita tangkap (di Bogor, Jawa Barat, Juni 2002), walau cuma beberapa hari, kita sudah tahu network-nya. Kalau dia kembali, gampang kita tangkap saja. Ya, kalau tertangkap hidup. Kalau mati? Kecuali dipakai untuk tempat lain, kita tidak tahu, karena kita tidak cukup data.
Apa reaksi Anda ketika mendengar Al-Faruq lepas, sebab dulu tim Anda yang menangkap?
Wah, kecewa berat. Kita mendapat dia bukan diberi tahu Amerika seperti yang disebut-sebut selama ini. Amerika sendiri tidak tahu. Jadi, ketika peristiwa Poso meletus, anak buah saya menemukan beberapa orang asing ada di sana. Orang asing ini ada di kedua pihak yang bertikai. Tetapi yang ketahuan memberikan hasutan, penggalangan, dan sebagainya adalah Umar Faruq. Ada dokumen berupa rekaman film yang dibuat Seyam Reda (warga negara Jerman keturunan Arab) setelah dia kita tangkap (September 2002). Mukanya (Faruq) jelas, orangnya berbahasa arab dan di film itu diterjemahkan oleh Nasir.
Maksud Anda Nasir Abas, mantan Ketua Mantiqi III di Jamaah Islamiyah?
Nah! Apakah Nasir Abas yang itu atau Nasir yang lain, saya belum sempat tanya. Karena saat Nasir Abas sudah turun dan bisa dipakai polisi, saya tidak lagi menjabat. Kalau film itu diputar lagi, kita bisa lihat benar dia atau bukan.
Jadi, keberadaan Umar Faruq itu infonya bukan dari Amerika Serikat?
Tidak, tidak sama sekali. Makanya itu digulir-gulirkan oleh siapa, kita tidak tahu. Mungkin kelompok mereka juga. Setelah kita tangkap, kita kebingungan siapa orang ini. Karena waktu kita periksa dia seperti orang bloon saja. KTP-nya aspal. Makanya, pada 2001 saya sudah katakan, awas ada orang asing bermain di Poso. Wah, semuanya membantah, termasuk penguasa setempat. Mengapa saya katakan? Supaya masyarakat ikut berpartisipasi dan merazia juga.
Mengapa kemudian dia dideportasi?
Kesalahannya kan jelas menghasut. Waktu kita mau bawa dia ke pengadilan ditanyakan bukti. Kita bawa film. Katanya, film tidak bisa menjadi bukti, kaset juga tidak bisa. Terus apa? Saksi juga susah, sebab orang-orang pada tidak mau karena takut. Bagaimana mau kita bawa ke hukum kita? Kapolri meminta diusut di negeri kita. Saya bilang ini bukan soal locus delicti (tempat terjadinya perbuatan pidana). Ini cerita orang asing main di tempat kita sehingga bangsa kita bunuh-bunuhan. Lalu kita pikir sebaiknya kita deportasi saja orang ini. Masalahnya, mau dideportasi ke mana? Dia tidak mengaku asalnya dari mana. Dia bilang orang Kuwait, terus Kuwait bikin press conference menolak. Kita pulangkan ke Pakistan, dia bilang bukan orang Pakistan. Kedutaan Pakistan juga menolaknya.
Bagaimana akhirnya Anda menyelesaikannya?
Kita saling tukar catatan. Our enemy's enemy is our friend (musuhnya musuh adalah teman kita), karena kan tidak ada teman atau musuh sejati. Eh, Pakistan barusan menangkap Abu Zubaida yang lalu dipinjam Amerika Serikat karena dia pimpinan Al-Qaidah. Abu Zubaida bilang, ini (Umar Faruq) anak buah saya. Nah, jadi bukannya kita mempersembahkan seperti Tempo bilang. Kita itu siapa saja, mau Amerika, mau Rusia, mau Cina, silakan saja. Itu makanya saya bilang, Al-Qaidah main di Poso, bukan Jamaah Islamiyah, bukan yang lain.
Saat penangkapan Umar Faruq, disebut-sebut peran Abdul Haris yang diduga agen BIN. Apakah dia disusupkan ke jaringan ini sejak awal?
Sebelum saya jadi Kepala BIN, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Nasional) dan Bais (Badan Intelijen Strategis dari militer) anggotanya sudah menyusup ke mana-mana. Ada yang jadi wartawan, kelompok mahasiswa, ada juga yang sekolah beneran sampai jadi dokter. Jadi, kalau nama memang susah kita cari. Banyak sekali nama Abdul Haris di BIN. Nah Abdul Haris siapa? Karena saya memang umumkan ke semua anggota, saya tak butuhkan nama. Jadi, nama bisa ganti.
Abdul Haris yang mengaku mendapat proyek pemasangan karpet di BIN.
Wah, kalau orang-orang operasional bisa siapa saja. Seperti nyewa, ngontrak, jadi mahasiswa, itu kan bisa-bisanya bagaimana mereka bersiasat. Ada yang intel Melayu yang masuknya ketahuan. Ada yang pintar masuknya tidak ketahuan sampai dapat posisi tinggi. Jadi, dalam kita menentukan sasaran, kita mendapat masukan dari informan. Mereka ini hanya memberi info, tetapi tidak melakukan tindakan apa-apa. Sementara ada juga agen kita di sana. Terakhir yang sangat meyakinkan saat kita tangkap Seyam Reda. Seyam Reda ini contoh bahwa ternyata saya tidak salah tangkap meskipun sebelumnya saya sempat ragu.
Apa saja yang dilakukan intelijen saat menyusup?
Mereka melakukan tiga hal, penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Pengamanan itu bagaimana cara dia mengamankan dirinya, penyelidikan bagaimana dia masuk ke sasaran-sasaran atau ikut memonitor, kemudian menggalang dan mengkondisikan dengan cara merangkul. Jadi, kalau kita sudah masuk, orang itu kita rangkul. Tetapi kalau sudah tidak bisa, kita cari siapa musuh dia. Musuhnya ini yang kita garap. Makanya kita (minta) izin untuk menahan orang selama empat hari dan keluarganya kita kasih tahu-begitu saja saya tidak dikasih.
Dikhawatirkan akan menjadi represif seperti zaman dahulu.
Lho, kalau zaman dahulu kan tidak ada aturannya. Nah, sekarang diatur dong dalam satu organisasi itu, siapa yang boleh diambil.
Misalnya?
JI yang begitu kecil saja tidak semuanya setuju dengan teror, di antaranya Nasir Abas yang sejak awal tidak setuju. Jadi, yang kita pegang Nasir. Waktu di Poso saya penasaran apakah ini Nasir Abas. Bagaimana caranya supaya gue bisa ambil dia. Tetapi kalau itu sampai saya ambil, pasti ramai. Karena itu saya ngotot ngincar dia. Eh, sekarang ditangkap dan identitasnya terbuka karena bom Bali. Kalau sudah terbuka kan tidak ada gunanya. Paling disuruh nulis buku.
Apakah intelijen kita juga terlibat dalam penangkapan Hambali?
Tidak. Tetapi saya menulis pertanyaan yang saya kirim ke sana (Thailand, tempat Hambali ditahan), lalu dikasih jawaban dari sana. Banyak pertanyaan tentang situasi Indonesia, hanya tidak bisa dipakai untuk menyeret ke hukum, karena orangnya harus dihadirkan. Nah, cap yang diberikan kepada saya, apalagi setelah saya pensiun, bahwa saya bonekanya Amerika. Padahal, saya tidak kenal sama si Bush. Satu-satunya orang Amerika yang saya kenal yang kerja di bengkel BMW... hahaha!
Bagaimana upaya kerja sama intelijen antarnegara?
Saya kan dulu Ketua Organisasi Intelijen Negara-negara Islam. Kalau kita kumpul itu saling bagi informasi. Kalau saya usulkan kerja sama, kita itu lebih dekat ke Pakistan, karena di situ sarangnya. Kalau di sini kan cuma sarang-sarangan. Mereka sekolahnya di Pakistan semua. Kemudian muncul konsep enlightening moderation dari Pervez Musharraf (Presiden Pakistan). Pemerintah Pakistan mensubsidi semua pesantren di sana, jadi tidak boleh swasta. Artinya, kurikulumnya juga disubsidi dan dibina. Musharraf bicara kepada saya: "Sekarang saya kasih (santri Pakistan) pelajaran ilmu pengetahuan tinggi agar mereka tertarik. Daripada hanya memperdalam filsafat, nanti ngomongnya di awang-awang." Pesantren di sana disuruh memilih, yang mau kedokteran, mau teknologi pertanian, pemerintah menyiapkan.
Bagaimana Anda melihat perburuan pasangan Dr Azahari dan Noor Din Top?
Saya berani bilang sesudah Azahari mati, Noor Din Top akan segera tertangkap, karena simpul-simpulnya pasti sudah pada ketakutan. Mereka akan berpikir, Azahari yang orang penting dan dilindungi saja tertangkap, apalagi saya. Ini pasti ada yang membocorkan. Makanya, kalau ada orang yang datang, pasti mereka akan bilang, �Saya tidak mau ikut-ikut lagi."
Bukankah di luar masih ada Zulkarnaen, Umar Patek, Dulmatin yang bisa melakukan balas dendam?
Ya, tapi mereka kan tetap tidak bisa sendiri. Mereka harus cari dulu orang yang bisa dipercaya. Mereka pasti mengira orang-orang yang dekat mereka jangan-jangan intel. Itu kan dia tetap takut. Saya kok tidak melihat mereka sebagai bahaya. Karena mereka harus merekrut lagi orang-orang yang bisa dipercaya. Berarti itu mulai dari anaknya sendiri, keponakan, dan sebagainya. Itu makan waktu, baru dia akan main lagi.
Bagaimana dengan kader-kader di bawah mereka?
Memang mereka tidak ada istirahat. Kita harus pandai membaca mereka karena ini perang. Mereka ini kan berangkat ke Afganistan yang sedang perang melawan Soviet. Kita mengirimkan orang menjadi mujahidin di sana, padahal itu melanggar UUD. Tetapi setelah menang mereka terkejut, mengapa jadinya Taliban yang mendapat kekuasaan, padahal mereka yang perang. Nah, orang-orang seperti Ja'far Umar Thalib: dia pernah bertemu Usamah Bin Ladin saat masih pakai dasi, sementara dia sudah perang. Tahu-tahu sekarang Usamah yang jadi bosnya, sementara dia terlempar. Nah, orang-orang yang kecewa pada keadaan ini bisa dipakai intelijen.
Nama Anda disebut-sebut dalam kasus kematian aktivis Munir. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya itu kan leher saja, dan saya tidak pernah jadi yang nomor satu. Jadi, saya itu dikiranya selalu sebagai operator. Bagi saya, itu bukan barang baru. Mulai Theys (Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua), saya juga disebut yang membunuh. Bahkan Tempo pun sampai sekarang belum meralat, padahal sudah terbukti bukan saya. Soal Warsidi (saat itu Hendro menjadi Komandan Korem Garuda Hitam Lampung, 1989) saja, yang disuruh tanggung jawab kan saya. Memangnya waktu itu saya tidak punya atasan? Waktu itu kan atasan saya ngumpul semua di sana. Kok, jadi saya yang disebut? Tetapi setiap kali ditanya siapa atasannya, ya lihat saja sendiri. Bos saya datangnya pakai helikopter ke sana-sini. Eh, saya yang dibilang menyerbu pakai helikopter. Padahal, sampai waktu itu saya belum pernah naik heli. Bagi saya, seorang perwira tidak boleh lempar badan, kecuali di pengadilan, karena disumpah.
Apakah Anda pernah diminta menjadi saksi terdakwa Pollycarpus yang disebut agen BIN dalam kasus pembunuhan Munir?
Kalau dipanggil, saya mau. Tetapi kan saya tidak kenal, jadi biarkan saja. Wong namanya saja aneh. Saya kira orang Ambon, ternyata orang Jawa. Makanya saya tidak takut, silakan saja. Wong saya tidak ngerasa. Dan saya tidak bodoh begitu. Saya kan sudah tua di intelijen. Masak, begitu caranya kalau saya menyuruh orang yang saya tidak kenal. Mana mungkin? Tolol amat.

Senin, 21 November 2005

HENDROPRIYONO : MIRIP KUBURAN

Sepi benar suasana rumah Jenderal (Purn.) Hendropriyono, 60 tahun, akhirakhir ini. Biasanya, kediaman mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) di Cibubur, Jakarta Timur, itu riuh-rendah oleh kicauan unggas-unggas di pagi hari saat mendengar petikan jemari tangan tuannya. "Mereka saya ungsikan semua," ujarnya kepada Tempo. Tak semua hewan di rumah itu mengungsi, sehingga Hendro masih bisa terhibur saat memberi makan ikan-ikan koi segede paha di kolam depan rumahnya. Wabah flu burung rupanya membikin ngeri sang Jenderal. Dia menitipkan 42 ekor koleksi unggasnya ke Taman Safari, Cisarua. "Saya takut diprotes tetangga," katanya. Rombongan "pengungsi" itu terdiri dari beo nias, cucakrawa, poksai, ayam hutan, ayam cemani, ayam bangkok, dan ayam pelung. Semuanya mahir berkicau dalam aneka nada dan gaya.
Hendro mengaku kesepian betul tanpa rombongan unggas di rumahnya yang seluas 1.200 meter persegi. Rumah itu kini hanya dihuni berdua dengan istrinya karena tiga anak mereka telah berumah tangga. Walau masih ada beberapa ajudan, pembantu, dan sopir, Hendro tetap merasa sunyi. "Sejak burung-burung itu mengungsi, rumah ini sepi kayak kuburan," ujar kakek delapan cucu ini dalam nada memelas.

Senin, 14 November 2005

AL-FAROUQ'S ESCAPE 'STAGED': EX-BIN CHIEF

SUMBER :   The Jakarta Post, Jakarta | Mon, 11/14/2005
Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta

The escape of terrorist suspect Omar al-Farouq from the United States detention may be a ploy to track down most-wanted terror master Osama bin Laden, a former intelligence chief says.
A.M. Hendropriyono, former State Intelligence Agency (BIN) director, told The Jakarta Post on Friday that he had strong grounds to suspect a hidden agenda behind the escape of al-Farouq, a Kuwait-born terrorist suspect who Indonesia handed over to the U.S. in September 2002, one month before the Bali blasts that killed 202 people.
""Following his escape, al-Farouq appeared in an interview with an Arabian TV station brandishing an automatic rifle. It is impossible that a terrorist group would trust and give him a gun after three years in U.S. detention. It is possible that he was prepared by his users to conduct a special mission.
""Second, it is quite strange that Washington remained silent about al-Farouq's escape. It can be assumed that U.S. security authorities were informed of his escape from the prison in July, but until now, President George W. Bush has not explained it, at least not to the American public,"" he said.
Hendropriyono, who was responsible for al-Farouq's transfer to U.S. custody, said it was very likely that al-Farouq had been brainwashed during his confinement at the Baghram maximum security detention center in Afghanistan.
""Brainwashing does not take years, it can take just two days,"" he said.
Hendropriyono said it appeared that al-Farouq's brainwashing had been effective as al-Farouq was cooperative and provided detailed information when two Indonesian police officer questioned him in Afghanistan following the hand-over. Al-Farouq had led the police to Muslim cleric Abu Bakar Ba'asyir, who is serving his 30-month jail term for conspiring the 2002 Bali blasts.
He also said it was possible that the U.S. was using al-Farouq to trace terrorist networks in the Middle East, Afghanistan and Pakistan, and locate bin Laden, who is still at large following the Sept. 11, 2001 attack on the U.S.
It is unlikely that al-Farouq would come back to Indonesia as the U.S. had not coordinated with the Indonesian authorities regarding his escape, Hendropriyono added.
The fact that President Susilo Bambang Yudhoyono has warned of possible strikes by al-Farouq indicates that Indonesia was never informed of the apparent U.S. plan, said Hendropriyono.
""But if he returns to Indonesia anyway, BIN and the police know all his contact persons and the accomplices he may look for in Bogor, Poso, Palu, Makassar and Ambon, five towns where he operated between 1999 and 2002,"" he said.
Asked about the public outrage toward him for handing al-Farouq over to the U.S. three years ago, Hendropriyono said the Indonesian authorities had no legal basis to charge him for terrorism because the country had not enacted an applicable law.
""BIN arrested him because he was one of the most-wanted persons in connection with the Sept. 11 tragedy and then deported him for immigration violations and identity card counterfeit. BIN was never instructed by the U.S. or other countries to arrest him.
""We nabbed him because he was dangerous and if he had not been arrested more people might have been killed in bomb attacks,"" he said.
Al-Farouq was arrested by intelligence agents in the Bogor Grand Mosque after BIN received a video recording showing him leading a bloody attack on a Christian village in Poso, Central Sulawesi.
Hendropriyono said al-Farouq had held five different passports and various fake Indonesian identity cards under different names but did not speak Indonesian.
The former intelligence chief expressed regret that one of al-Farouq's operatives who was later arrested, Seyam Reda, had escaped and many members of al-Qaeda-related groups were still operating in Poso, where sectarian conflict left 1,000 dead between 2000 and 2001.
Al-Farouq, Reda and several other al-Qaeda operatives were brought into the country by Parlindungan Siregar in 1999, Hendropriyono said. Parlindungan has been declared a suspect in the Madrid bombing in March last year.

Sabtu, 12 November 2005

POLICE CHALLENGED TO WORK HARDER AFTER AZAHARI'S DEATH

SUMBER : The Jakarta Post, Jakarta | Sat, 11/12/2005
Ridwan Max Sijabat and Tiarma Siboro, The Jakarta Post/Jakarta

Following the death of Azahari bin Husin during a raid at his hideout in East Java, the next two weeks could be a crucial period for the security and intelligence apparatus' long struggle to curb terrorism in this country, intelligence experts say.
""The raid (and Azahari's death) has encouraged security personnel, especially from the National Police and the intelligence agencies to work harder to dig up more information on Azahari's terror network to break it up for good. The police are racing against time to find Azahari's compatriot Noordin Moh. Top and his group members,"" former chief of the State Intelligence Agency (BIN) A.M. Hendropriyono told The Jakarta Post on Friday.
Azahari, a Malaysian citizen and one of the most wanted terrorists in Southeast Asia, along with Budi, alias Arman, a local operative, were killed during a shootout on Wednesday in East Java. One of their main cohorts was arrested in Malang, while several others were nearly caught in Semarang, Central Java.
Giving a thumbs-up to the police, Hendropriyono said security officers and BIN agents now had the challenge to arrest Noordin and his local operatives. ""The capture of this big fish will show the world Indonesia's seriousness in the war on terrorism and return the people's confidence in the government.""
Asked whether Azahari's death would eliminate terror threats in the future, Hendropriyono said it depended on the performance of the police and BIN over the next few weeks.
""Terror threats will be getting more intense if security forces fail to find the remaining members of their terrorist network, because Azahari's death could provoke his followers to become more militant and set up new cells. The threat will weaken if security forces and BIN make a significant achievement,"" he said, while speculating that for the time being, terror activities would remain dormant because the operatives had been put into a corner.
Terrorism was essentially psychological warfare and the security forces should use this crucial time to win that war, he added.
Separately, Insp. Gen. (ret) Ansja'ad Mbai, who heads the antiterror desk at the Office of Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs, said the death of Azahari was a bit of shock therapy for the members of his terror cells, but he warned that this could also drive them ""to launch triple-strength attacks as part of the psychological war.""
""After the death of Azahari, maybe we'll see bomb attacks taper off for quite some time, but another kind of terror can be just starting. The terrorist groups can pursue the terror threats in so many ways: bomb attacks, vandalism, assassinations or anything to create psychological trauma among the public,"" Ansja'ad explained, while referring to the recent beheadings and shooting attacks on female students in Poso, Central Sulawesi.
""If we understand more about the 'terrorist triangle', from Sulawesi to Maluku to the southern Philippines, we can clearly see how the network has worked so far. Each group within this network has developed another cell that works independently, and the death of one of its leaders won't stop their movement,"" Ansja'ad said.
Local antiterror experts predicted that there are about 300 men categorized simply as ""Islamic militants"", who are still roaming about freely in this country.
Ansja'ad said that most of them had graduated from paramilitary training camps either in Afghanistan or the southern Philippines.
Ansja'ad also said that security personnel would continue monitoring some Islamic boarding schools, including Al Zaitun in West Java, because ""some of the individuals that have gone there promote deviant thoughts about religion.""
""The terrorists pursue different methods to meet their goals, from spreading fanaticism in sermons to forcing their will through violence. We must remain alert about their methods,"" Ansja'ad added.