Selasa, 08 Januari 2013

KEKACAUAN DI POSO KESESATAN SISTEMIK

Sumber : KOMPAS, Senin 7 Januari 2013


Setelah mengenyam kembali kehidupan harmonis sebagai masyarakat Pancasilais yang damai dan penuh toleransi selama hampir 10 tahun, rakyat Indonesia di Poso kembali dikejutkan oleh serangkaian kejadian yang mengacaukan ketenangan mereka.
Kekacauan mutakhir berupa kontak tembak yang terjadi pada 20 Desember 2012 antara satu regu Polri dan segerombolan orang tak dikenal. Dalam hukum pertempuran, pihak yang terdadak selalu menderita kekalahan.
Karena itu, serangan tiba-tiba tersebut mampu menjatuhkan enam korban anggota Polri, tiga di antaranya gugur di medan laga. Pendadakan (surprise), menurut hukum pertempuran, adalah suatu kesalahan taktis yang merupakan tanggung jawab seorang komandan.

Tanggung Jawab Pemimpin
Namun, kesalahan taktis tersebut dapat bersifat strategis jika lingkup masalah keamanan di Poso ternyata terkait dengan masalah yang terjadi di berbagai wilayah nasional lainnya, seperti di Aceh dan Solo. Dengan demikian, berarti serangkaian kekacauan di Poso itu bukan sekadar kesalahan komandan taktis di lapangan, tetapi sepenuhnya tanggung jawab strategis dari kepemimpinan nasional.
Kepemimpinan nasional negara RI, dalam konteks keamanan nasional, secara sesat telah dilahirkan oleh para pemimpin bangsa kita yang berada di badan-badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kesesatan ini ditambah lagi dengan konstruksi sosial yang terbangun sebagai akibat euforia demokrasi dan trauma masa lampau yang tak kunjung usai. Mereka telah menabukan keadaan darurat karena pertimbangan irasional tentang kemungkinan terganggunya iklim investasi nasional.
Selain itu, juga karena ketidakpercayaan umum terhadap ABRI yang kini tereduksi sebagai TNI, dalam hal kebebasan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Ketidakpercayaan itu demikian berlebihan sehingga kematian sejumlah besar rakyat yang tak berdosa akibat bentrokan massal dan penyerangan bersenjata yang terjadi berkali-kali terhadap aparat keamanan negaranya sendiri dianggap sebagai peristiwa normal.
Awal mula-mula dari kesesatan tersebut terkait pada batang tubuh amendemen konstitusi yang telah menjauhi roh Pancasila dan berbagai undang-undang keamanan nasional serta peraturan-peraturan yang tidak teruji terhadap aturan perundang-undangan yang berada di atasnya. Dengan demikian, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kekacauan yang kini terjadi di Poso merupakan akibat dari kesesatan sistemik, yang kita alami dalam menjalani kehidupan bersama masyarakat bangsa yang pluralistis.
Kesesatan sistemik tersebut harus segera kita perbaiki dengan langkah-langkah super-cepat untuk melahirkan konsensus-konsensus di tataran praktis yang menyangkut kebijakan/strategi keamanan nasional. Kepentingan partai, apalagi kelompok dan pribadi, harus disingkirkan. Strategi nasional yang perlu diterapkan harus mengikutsertakan media massa guna menggalang partisipasi masyarakat dalam suatu kampanye keamanan nasional yang bersifat kesemestaan.
Masyarakat Poso yang telah jenuh oleh kekacauan itu ternyata kini tidak lagi berani keluar malam betapapun pentingnya keperluan mereka. Rakyat di sana sedang dicekam oleh rasa ketakutan, yang berbalikan dengan rasa lega-hati dari para gerombolan bersenjata tak dikenal, yang justru kini semakin bertambah bebas secara fisik untuk saling berkomunikasi dan terus-menerus dapat melakukan konsolidasi di kegelapan malam.
Lingkungan keadaan masyarakat Poso yang seperti itu jelas merupakan indikasi bahwa rakyat di sana butuh kewibawaan negara untuk menghentikan gerombolan liar merajalela. Gerombolan bersenjata itu layak jadi sasaran kampanye keamanan nasional mengingat basis operasi mereka terbukti mencakup berbagai belahan wilayah nasional.
Subyeknya juga bukan terbatas orang-orang yang berasal dari Poso, kebanyakan bahkan justru para pendatang. Intelijen telah menengarai bahwa di antara mereka adalah pengikut dari teroris Hasanuddin yang kini berada di Filipina. Hasanuddin dan kawan-kawan, sebagaimana halnya grup Umar Patek, adalah gerombolan teroris yang berkolaborasi dengan Abu Sayaf. Kelompok gerombolan Abu Sayaf akan semakin terjepit jika perdamaian antara MILF dengan Pemerintah Filipina kelak melahirkan kampanye keamanan bersama.
Manuver yang paling mungkin akan mereka lakukan adalah menggunakan Poso yang kini kacau sebagai kedudukan cadangan. Juga Aceh dan Solo sebagai kedudukan pengganti bagi basis operasi dan juga pusat latihan gerilya bersenjata mereka yang memang selama ini sudah dipersiapkan.

Berlakukan Jam Malam
Oleh karena itu, tindakan pemerintahan negara yang cepat dan tepat, selain menuntaskan kegalauan rakyat di Poso, juga dapat mencegah kekacauan itu meluas ke seantero RI. Pemberlakuan jam malam merupakan pilihan. Langkah seperti ini dalam dunia militer dikenal sebagai suatu kebijakan/strategi/operasi interdiksi.
Pemberlakuan jam malam di Poso hanya dimungkinkan jika bupati/wali kota—di tataran praktis dapat dimaklumi oleh para penyelenggara pemerintahan negara RI yang ada di Jakarta—memberlakukan daerahnya yang sedang kacau-balau berada dalam keadaan darurat sipil. Bupati/wali kota adalah kepala daerah terdekat dengan warganya, yang juga punya cukup perangkat administrasi publik di dalam birokrasi masing-masing, yang dapat mempertanggungjawabkan langkah deteksi dini dan cegah dini terhadap kemungkinan akan terjadinya gejolak sosial.
Pemberlakuan jam malam di Poso juga merupakan usaha untuk memisahkan antara masyarakat dan gerombolan bersenjata. Ini untuk memberikan keleluasaan bagi Polri melakukan pengejaran terhadap para pelaku teror yang terindikasi pernah terlibat dalam berbagai pembunuhan dan perampokan toko emas di sana.
Dengan berlakunya jam malam, aksi polisionil (operasi kepolisian) juga dapat mencegah gerombolan bersenjata itu berkonsolidasi. Para gerombolan bersenjata hanya dapat saling berkomunikasi dengan sesamanya atau juga dengan para pendukungnya melalui radio-telefoni sehingga dapat memberi kesempatan yang lebih terbuka bagi operasi intelijen untuk menemukan basis operasi dan pusat latihan kaum teroris.
Operasi kepolisian dan intelijen tersebut harus didukung operasi teritorial TNI AD yang bergotong-royong dengan rakyat melakukan usaha pagar betis terhadap basis operasi dan pusat latihan gerombolan di Poso. Jika operasi keamanan berhasil di Poso, pemerintah justru dapat menjadikannya sebagai pangkal dari kampanye keamanan nasional di seluruh wilayah RI.
Perlu diingat, gerombolan bersenjata yang terdiri atas orang- orang yang tak dikenal tidak dilindungi oleh hukum perang ataupun hukum internasional. Rakyat di berbagai negara demokrasi mana pun memahami bahwa konflik bersenjata mempunyai hukum: to kill or to be killed, membunuh atau dibunuh.
AM Hendropriyono Jenderal TNI (Purn)/Mantan Kepala BIN/Mantan Ketua Umum Ikatan Alumni Lemhannas

PRESIDEN 2014: MUDA NONMILITER, PERSPEKTIF AM HENDROPRIYONO

Sumber :  KOMPAS, 05 November 2012

Belum lama berselang, seorang peneliti mengingatkan para purnawirawan TNI agar tidak terjebak dalam skenario dinosaurus yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam kepunahan nilai keprajuritannya (Kompas, 22/10/2012).
Peringatan itu terkait kiprah para jenderal purnawirawan tua yang kini sedang saling berlomba memopulerkan diri untuk menjadi presiden RI 2014. Perlombaan, yang disebut rakyat sebagai ”Perang Bintang”, dilakukan oleh mereka yang sewaktu muda hafal di luar kepala tujuh ayat di dalam Sapta Marga. Ayat pertamanya berbunyi: ”Kami warga negara Republik Indonesia, yang bersendikan Pancasila”.
Di samping itu, setiap anggota TNI juga diwajibkan mengangkat Sumpah Prajurit, yang harus diucapkan pada setiap upacara bendera seminggu sekali. Ayat pertamanya berbunyi: ”Setia kepada pemerintah dan tunduk kepada undang-undang dan ideologi negara”.
Baik Sapta Marga maupun Sumpah Prajurit merupakan derivasi dari filsafat Pancasila, yang digali dari kebudayaan bangsa kita sendiri. Nilai kebudayaan kita yang luhur di bidang keprajuritan secara praktik telah diteladani Gajah Mada, tujuh abad lampau. Sampai kini sosok Gajah Mada tetap merupakan simbol keprajuritan yang dibanggakan TNI dan Polri.
Sang pemersatu Kerajaan Majapahit itu, walaupun namanya besar karena jasa-jasanya yang luar biasa bagi negara, tak ingin menjadi raja. Sekarang, dalam kebudayaan modern kita dewasa ini, keteladanan Gajah Mada justru diikuti secara terbalik. Para purnawirawan tua membesarkan namanya lewat media massa justru karena ingin menjadi presiden.
Melalui kepiawaian konsultan iklan, perwira yang sewaktu muda konduitenya buruk sekalipun sekarang dapat demikian populer di mata rakyat. Kepopuleran seperti ini juga dapat membuat para perwira muda usia memahaminya secara keliru: bahwa medan laga untuk jadi presiden monopoli para bekas tentara yang sudah tua dan berpangkat perwira tinggi.
Padahal, sepanjang sejarah Indonesia, dinamika kehidupan bangsa kita sejak dulu penuh diwarnai peran para perwira menengah TNI yang masih muda. Karakter kelompok manusia dalam keadaan darurat, yang biasanya terjadi di masa transisi, selalu menginginkan pemimpin muda berjiwa militer yang tegas dan penuh disiplin, yang mampu melindungi rakyat dari segala bentuk ancaman.

Sipil Berjiwa Militer
Mengapa harus muda? Secara mental kaum muda punya semangat lebih menggelora. Secara fisik lebih kuat dan secara psikis lebih tahan, terutama dalam daya tahan kerja intelektual mereka. Karena itu, jika kaum muda militer ingin berkiprah di bidang politik, tak usah menunggu karier di militer khatam alias pensiun, sudah tua, apalagi harus berpangkat jenderal.
Namun, harus juga diingat, dalam teori demokrasi, dasar kedaulatan politik yang dijunjung adalah supremasi sipil. Jadi, anggota militer muda yang mau mencalonkan diri sebagai presiden harus berhenti dahulu sebagai tentara dan kembali jadi orang sipil yang tak punya ikatan lagi dengan militer. Masalahnya, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, berhenti secara tidak sah dari militer berarti desersi.
Oleh karena itu, untuk menjawab keinginan rakyat kita, jalan terbaik adalah mendukung calon sipil yang berjiwa militer. Hanya pemimpin yang berjiwa tegas, disiplin, dan merakyat yang dapat membawa Indonesia benar-benar berdaulat di bidang politik, berdiri di kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Para purnawirawan militer yang selama ini pernah memimpin rakyat, sesuai semboyan Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan menjadi teladan), adalah (alm) Soeharto dan SBY. Namun, dalam keadaan transisi, rakyat masih mendambakan lebih kuatnya disiplin nasional, baik disiplin birokrasi dan aparatur, disiplin legislasi, maupun disiplin sosial.
Rakyat berharap hadirnya kepemimpinan nasional yang tegas agar ide liberal tentang kebebasan tidak terus makin bergulir ke arah anarkisme. Rakyat berharap kepemimpinan yang berani agar perkembangan individualisme dalam lingkungan strategis kita tak makin menjurus ke arah konsumerisme yang hedonistik.
Kesempatan bagi para purnawirawan tua untuk memimpin bangsa ini dengan berada di depan dirasakan telah cukup. Sekarang waktunya kaum militer muda dan bekas militer yang sudah tua mendukung kepemimpinan nasional sipil dari belakang, yang di antara delapan asas kepemimpinan ABRI/TNI disebut Tut Wuri Handayani.
Para pemuda dari kalangan sipil kini harus didorong agar berani dan mampu tampil di depan untuk membangun negara Pancasila dalam bingkai demokrasi yang beretika. Fenomena Jokowi dalam memenangi kursi gubernur DKI Jakarta 2012-2017 pelajaran yang berharga bagi kita. Bahwa Indonesia menginginkan orang muda sipil berwajah baru yang berwibawa, yaitu tegas, berdisiplin, dan merakyat, sebagai presiden RI yang akan datang.● (Dr. AM Hendropriyono, Jenderal TNI Purn dan mantan Kepala BIN, Ikatan ALumni Lemhannas)