Sumber : KOMPAS, Senin 7 Januari 2013
Setelah
mengenyam kembali kehidupan harmonis sebagai masyarakat Pancasilais
yang damai dan penuh toleransi selama hampir 10 tahun, rakyat Indonesia
di Poso kembali dikejutkan oleh serangkaian kejadian yang mengacaukan
ketenangan mereka.
Kekacauan mutakhir berupa kontak tembak yang
terjadi pada 20 Desember 2012 antara satu regu Polri dan segerombolan
orang tak dikenal. Dalam hukum pertempuran, pihak yang terdadak selalu
menderita kekalahan.
Karena itu, serangan tiba-tiba tersebut mampu
menjatuhkan enam korban anggota Polri, tiga di antaranya gugur di medan
laga. Pendadakan (surprise), menurut hukum pertempuran, adalah suatu
kesalahan taktis yang merupakan tanggung jawab seorang komandan.
Tanggung Jawab Pemimpin
Namun,
kesalahan taktis tersebut dapat bersifat strategis jika lingkup masalah
keamanan di Poso ternyata terkait dengan masalah yang terjadi di
berbagai wilayah nasional lainnya, seperti di Aceh dan Solo. Dengan
demikian, berarti serangkaian kekacauan di Poso itu bukan sekadar
kesalahan komandan taktis di lapangan, tetapi sepenuhnya tanggung jawab
strategis dari kepemimpinan nasional.
Kepemimpinan nasional negara
RI, dalam konteks keamanan nasional, secara sesat telah dilahirkan oleh
para pemimpin bangsa kita yang berada di badan-badan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Kesesatan ini ditambah lagi dengan konstruksi
sosial yang terbangun sebagai akibat euforia demokrasi dan trauma masa
lampau yang tak kunjung usai. Mereka telah menabukan keadaan darurat
karena pertimbangan irasional tentang kemungkinan terganggunya iklim
investasi nasional.
Selain itu, juga karena ketidakpercayaan umum
terhadap ABRI yang kini tereduksi sebagai TNI, dalam hal kebebasan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Ketidakpercayaan itu demikian
berlebihan sehingga kematian sejumlah besar rakyat yang tak berdosa
akibat bentrokan massal dan penyerangan bersenjata yang terjadi
berkali-kali terhadap aparat keamanan negaranya sendiri dianggap sebagai
peristiwa normal.
Awal mula-mula dari kesesatan tersebut terkait
pada batang tubuh amendemen konstitusi yang telah menjauhi roh Pancasila
dan berbagai undang-undang keamanan nasional serta peraturan-peraturan
yang tidak teruji terhadap aturan perundang-undangan yang berada di
atasnya. Dengan demikian, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa
kekacauan yang kini terjadi di Poso merupakan akibat dari kesesatan
sistemik, yang kita alami dalam menjalani kehidupan bersama masyarakat
bangsa yang pluralistis.
Kesesatan sistemik tersebut harus segera
kita perbaiki dengan langkah-langkah super-cepat untuk melahirkan
konsensus-konsensus di tataran praktis yang menyangkut
kebijakan/strategi keamanan nasional. Kepentingan partai, apalagi
kelompok dan pribadi, harus disingkirkan. Strategi nasional yang perlu
diterapkan harus mengikutsertakan media massa guna menggalang
partisipasi masyarakat dalam suatu kampanye keamanan nasional yang
bersifat kesemestaan.
Masyarakat Poso yang telah jenuh oleh
kekacauan itu ternyata kini tidak lagi berani keluar malam betapapun
pentingnya keperluan mereka. Rakyat di sana sedang dicekam oleh rasa
ketakutan, yang berbalikan dengan rasa lega-hati dari para gerombolan
bersenjata tak dikenal, yang justru kini semakin bertambah bebas secara
fisik untuk saling berkomunikasi dan terus-menerus dapat melakukan
konsolidasi di kegelapan malam.
Lingkungan keadaan masyarakat Poso
yang seperti itu jelas merupakan indikasi bahwa rakyat di sana butuh
kewibawaan negara untuk menghentikan gerombolan liar merajalela.
Gerombolan bersenjata itu layak jadi sasaran kampanye keamanan nasional
mengingat basis operasi mereka terbukti mencakup berbagai belahan
wilayah nasional.
Subyeknya juga bukan terbatas orang-orang yang
berasal dari Poso, kebanyakan bahkan justru para pendatang. Intelijen
telah menengarai bahwa di antara mereka adalah pengikut dari teroris
Hasanuddin yang kini berada di Filipina. Hasanuddin dan kawan-kawan,
sebagaimana halnya grup Umar Patek, adalah gerombolan teroris yang
berkolaborasi dengan Abu Sayaf. Kelompok gerombolan Abu Sayaf akan
semakin terjepit jika perdamaian antara MILF dengan Pemerintah Filipina
kelak melahirkan kampanye keamanan bersama.
Manuver yang paling
mungkin akan mereka lakukan adalah menggunakan Poso yang kini kacau
sebagai kedudukan cadangan. Juga Aceh dan Solo sebagai kedudukan
pengganti bagi basis operasi dan juga pusat latihan gerilya bersenjata
mereka yang memang selama ini sudah dipersiapkan.
Berlakukan Jam Malam
Oleh
karena itu, tindakan pemerintahan negara yang cepat dan tepat, selain
menuntaskan kegalauan rakyat di Poso, juga dapat mencegah kekacauan itu
meluas ke seantero RI. Pemberlakuan jam malam merupakan pilihan. Langkah
seperti ini dalam dunia militer dikenal sebagai suatu
kebijakan/strategi/operasi interdiksi.
Pemberlakuan jam malam di
Poso hanya dimungkinkan jika bupati/wali kota—di tataran praktis dapat
dimaklumi oleh para penyelenggara pemerintahan negara RI yang ada di
Jakarta—memberlakukan daerahnya yang sedang kacau-balau berada dalam
keadaan darurat sipil. Bupati/wali kota adalah kepala daerah terdekat
dengan warganya, yang juga punya cukup perangkat administrasi publik di
dalam birokrasi masing-masing, yang dapat mempertanggungjawabkan langkah
deteksi dini dan cegah dini terhadap kemungkinan akan terjadinya
gejolak sosial.
Pemberlakuan jam malam di Poso juga merupakan
usaha untuk memisahkan antara masyarakat dan gerombolan bersenjata. Ini
untuk memberikan keleluasaan bagi Polri melakukan pengejaran terhadap
para pelaku teror yang terindikasi pernah terlibat dalam berbagai
pembunuhan dan perampokan toko emas di sana.
Dengan berlakunya jam
malam, aksi polisionil (operasi kepolisian) juga dapat mencegah
gerombolan bersenjata itu berkonsolidasi. Para gerombolan bersenjata
hanya dapat saling berkomunikasi dengan sesamanya atau juga dengan para
pendukungnya melalui radio-telefoni sehingga dapat memberi kesempatan
yang lebih terbuka bagi operasi intelijen untuk menemukan basis operasi
dan pusat latihan kaum teroris.
Operasi kepolisian dan intelijen
tersebut harus didukung operasi teritorial TNI AD yang bergotong-royong
dengan rakyat melakukan usaha pagar betis terhadap basis operasi dan
pusat latihan gerombolan di Poso. Jika operasi keamanan berhasil di
Poso, pemerintah justru dapat menjadikannya sebagai pangkal dari
kampanye keamanan nasional di seluruh wilayah RI.
Perlu diingat,
gerombolan bersenjata yang terdiri atas orang- orang yang tak dikenal
tidak dilindungi oleh hukum perang ataupun hukum internasional. Rakyat
di berbagai negara demokrasi mana pun memahami bahwa konflik bersenjata
mempunyai hukum: to kill or to be killed, membunuh atau dibunuh.
AM Hendropriyono Jenderal TNI (Purn)/Mantan Kepala BIN/Mantan Ketua Umum Ikatan Alumni Lemhannas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar