Senin, 11 Juli 2011

PARA PRAJURIT TUA TAK PERNAH MATI

Sumber : koran KOMPAS Selasa, 24 Maret 2009
Oleh : AM Hendropriyono

Membaca buku Sintong Panjaitan yang berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009), kita melihat ada dua orang yang dituduh pada 1983 dulu akan melakukan coup d’etat, yaitu Benny Moerdani yang dituduh oleh Kapten Prabowo Subianto dan Kapten Prabowo Subianto yang dituduh oleh Kolonel Sintong Panjaitan.
Tentu saja hal tersebut membuat publik menjadi bingung, ditambah lagi dengan ramainya buku dan serangkaian tanggapan yang terbit dan muncul dari para mantan perwira tentara lain. Untuk menghentikan kebingungan publik, marilah kita menata pikiran terhadap isi buku tersebut. Perlu kita bayangkan dulu suatu kotak pola pikir netral yang menempatkan kedua macam tuduhan yang bersifat antagonistik tersebut sebagai obyek (sasaran) dari analisis.
Rakyat Indonesia, termasuk para prajurit ABRI (TNI dan Polri), sejak kelahirannya dalam kehidupan berbangsa di negara Proklamasi 17 Agustus 1945 ini semuanya berpegang pada filsafat Pancasila sebagai norma dasar. Dengan norma dasar itu kemudian Bung Karno (Presiden Indonesia berlatar belakang sipil) memercayakan pembentukan tentara Pembela Tanah Air (Peta) pada zaman Jepang kepada Gatot Mangkupradja (juga orang sipil) sebagai alat negara milik rakyat yang andal dalam mendampingi para politisi berjuang menuju dan membangun Indonesia merdeka. Peta lalu berkembang dalam proses sejarah sampai akhirnya sekarang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kebenaran relatif
Letnan Dua Prabowo efektif menjadi anggota TNI sejak 1974 dan Letnan Dua Sintong sejak 1963, dengan penanaman sikap mental pengabdian mereka yang sama melalui derivasi nilai dasar, berupa Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Dengan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga sebagai instrumen (alat) analisis dan perkembangan keadaan masyarakat (publik) demokratis Indonesia sekarang sebagai lingkungan analisisnya, kita akan mendapatkan hasil suatu kebenaran relatif jika menempatkan netralitas diri kita sebagai subyek dan sejarah sebagai metode.
Di dalam Sapta Marga antara lain tersurat, ”Kami kesatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.” Instrumen itulah yang menjadikan The Old Soldier (Si Prajurit Tua), Sintong Panjaitan, membeberkan sejarah yang diketahuinya pada masa lalu kepada publik. Dalam pemikiran Sintong, lingkungan kita sekarang sudah berubah. Setiap individu bangsa kita telah melebur ke dalam napas keterbukaan di alam demokratisasi negara. Dengan demikian, mereka berhak mengetahui sejarah bangsanya sendiri agar mata dan hati mereka terbuka lebar dalam melanjutkan bergulirnya demokratisasi di nation state (negara-bangsa) Indonesia.
Bagi Prabowo, instrumen yang digunakannya untuk melakukan counter coup d’etat adalah Sumpah Prajurit, yang antara lain berbunyi ”Demi Allah, saya bersumpah setia kepada pemerintah dan tunduk kepada undang-undang dan ideologi negara.” Yang dimaksud setia di sini adalah kepada pemerintah siapa saja yang sedang berkuasa karena tentara di mana pun di dunia ini merupakan alat negara yang harus tunduk, setia, hormat, serta taat kepada atasan, dengan tidak membantah perintah atau putusan. Kalimat tersebut juga tersurat di dalam Sumpah Prajurit. Atasan tentara adalah pemerintah, yang dikepalai oleh Presiden (sipil) sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi atas Angkatan Darat, Laut, dan Udara sehingga lazim disebut sebagai Panglima Tertinggi.
Ada dua cara dalam menghadapi suatu rencana coup d’etat, yang pertama adalah mendorong agar coup d’etat tersebut dapat terlaksana secara prematur. Dengan demikian, para pelaku coup d’etat diharapkan akan bekerja secara tergesa-gesa, ceroboh, dan akhirnya gagal. Yang kedua adalah melakukan suatu counter coup d’etat, yaitu gerakan yang dilakukan mendahului pelaksanaan rencana coup d’etat. Caranya, dengan menangkapi atau menculik para tokoh yang akan berperanan penting dalam pelaksanaan coup d’etat.
Diadili sejarah

Diskursus publik sekarang berkisar pada benar atau tidak Benny Moerdani akan melakukan coup d’etat waktu itu dan benar atau tidak Prabowo dulu akan melakukan counter coup d’etat, serta tepat atau tidak Sintong membeberkan sejarah hidupnya pada saat ruang dan waktu negara Indonesia sedang demam kampanye pemilu legislatif dan pemilu presiden. Namun, yang jelas, landasan pemikiran Sintong dan Prabowo adalah sama, yaitu demi kesetiaan dan rasa tanggung jawab masing-masing kepada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit serta pemahaman atas keterbukaan yang dituntut oleh perkembangan lingkungan strategisnya, yaitu rakyat di negara demokrasi Indonesia yang telah mereformasi diri sejak 10 tahun lalu.
Kebenaran yang merupakan hasil analisis hanya akan diadili oleh sejarah dan jangan lupa kebenaran tersebut hanya bersifat relatif karena history is written by the winning generals (sejarah ditulis oleh jenderal yang menang). Proses sejarah yang tidak mengenal belas kasihan membuat bangsa Indonesia lebih percaya kepada jenderal yang mewarisi jiwa keperwiraan dari para prajurit pendahulunya. Sejarah Indonesia di zaman Kerajaan Majapahit mencatat jiwa keperwiraan Gajah Mada yang berhasil mempersatukan Nusantara, tetapi tidak pernah ingin menjadi raja. Demikian pula tercatat di zaman Kesultanan Demak, Faletehan alias Fatahillah yang dengan gemilang dua kali memukul mundur armada Portugis sampai menewaskan Laksamana Fransisco Dessa juga tidak pernah ingin menjadi sultan. Warisan sikap mental yang kita terima dari mereka bukan berupa nafsu kekuasaan ala Julius Caesar yang sepulang menaklukkan negara- negara di Eropa lalu melakukan coup d’etat dengan membubarkan senat dan mengangkat diri sebagai kaisar bangsa Romawi.
Para prajurit tua kita ketika masih aktif telah berhasil sehingga pada masanya dulu di Indonesia tidak pernah terjadi coup d’etat. Kini setelah kembali sebagai anggota masyarakat sipil, mereka bersaing bukan hanya karena keinginan menjadi presiden, apalagi menjadi raja atau sultan Indonesia! Mereka adalah para prajurit tua yang tak pernah mati untuk mempertahankan Indonesia yang belum dua pertiga jalan menuju batas aman bagi keberlangsungan demokrasi.
Proses modernisasi dan demokratisasi negara adalah suatu perjalanan yang panjang dan penuh risiko. Oleh karena itu, siapa pun di antara para prajurit tua yang paling layak untuk memimpin ke arah keamanan dan kesejahteraan bangsa Indonesia pasti didukung dan dikoreksi secara sehat oleh para koleganya sendiri. Hanya dengan kondisi seperti itu, seluruh rakyat akan ikut bersama melantunkan himne Taruna AMN, ”Biarpun badan hancur lebur, di bawah Dwiwarna sang panji, kami akan membela keadilan suci dan kebenaran murni!”

AM Hendropriyono Alumnus Akademi Militer Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar