Jumat, 24 April 2009

PERKIRAAN KEADAAN SINGKAT 2009

Sumber: Kompas, Jumat 24 April 2009
 
Ciri demokrasi adalah kontrol dari rakyat terhadap kerja para penentu kebijakan (policy makers) dan para pengambil keputusan (decision makers) di dalam melaksanakan pemerintahan negara.
Para penentu kebijakan yang dikontrol oleh rakyat adalah mereka yang sejak awal merupakan pilihan rakyat melalui suatu pemilihan calon anggota legislatif yang bebas. Sejak kita melakukan reformasi pada tahun 1998, banyak orang Indonesia menjadi keranjingan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Para caleg telah dibanjiri oleh mereka yang cenderung merupakan individu-individu, yang hanya terkenal ketimbang punya kemampuan.
Bagi sementara partai-partai politik, yang penting mereka memenangi kuantitas kursi (sits) di parlemen daripada kualitas mereka sebagai wakil rakyat.
Beberapa orang yang tidak percaya kepada cermin atau yang tidak pandai berkaca diri telah berani mengajukan diri duduk di badan terhormat penyelenggara pemilihan umum.
Arus demokratisasi yang kini telah menjadi suatu kekuatan liar ini menjadi sangat sukar untuk dibatasi oleh nalar yang sehat.
Dewan Perwakilan Rakyat kita dengan berbagai keterbatasannya telah menyatakan mereka fit and proper untuk memikul tanggung jawab yang mahaberat di negara Indonesia yang belum aman dalam berdemokrasi ini.
Di berbagai tempat di Indonesia telah diketemukan banyak sekali kesalahan yang memalukan. Di Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia ini saja telah diketemukan dalam satu rukun tetangga (RT) lebih kurang 10 anak kecil di bawah umur yang menerima surat pemberitahuan untuk menggunakan hak pilih mereka pada pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada pemilu kali ini.
Hal yang sama juga terjadi di luar negeri, sebagaimana contohnya di Singapura. Meskipun mekanisme penyelenggaraan oleh Kedutaan Besar RI sangat baik dan tertib, tata laksana dari daftar pemilih tetap Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sana sangat buruk.
Anak kecil berumur 9 tahun juga telah mendapat pemberitahuan hak seperti itu, sementara tenaga kerja wanita (TKW) penatalaksanaan rumah tangga yang legitim telah kehilangan hak pilihnya.
Ketika yang dirugikan protes, dengan mudah petugas yang bersangkutan melempar ke kebijaksanaan KPU ”Pusat”. Dengan gaya sentralistik jawaban dari KPU ”Pusat” tersebut, akhirnya adalah sang TKW kehilangan haknya.
Hak warga negara telah terampas begitu saja oleh ketidakmampuan penyelenggaraan yang merupakan awal dari proses utama demokrasi.
Secara persentase kuantitas mungkin dapat dikatakan kelak bahwa kesalahan tersebut sangat kecil, tetapi secara kualitas kesalahan itu bermakna sangat besar.
Pasalnya, para elite bangsa kita sudah banyak yang tahu bahwa tingkat kemajuan ekonomi Indonesia sekarang sebenarnya belum cukup mampu untuk menopang keberlanjutan demokrasi, apalagi dibarengi dengan proses politik yang berlangsung seperti ini.
Mekanisme penyelenggaraan kemarin yang relatif aman dan tertib menunjukkan betapa disiplin sosial rakyat masih dapat tegak oleh harapan akan hasil akhir yang mungkin kelak akan menggembirakan mereka. Namun, manakala hasil akhir proses politik demokrasi ini nanti ternyata mengecewakan, ranah ketidakpuasan (area of discontent) akan meningkat dengan cepat.
Sebagai pemicunya adalah krisis ekonomi dunia jika melanda Indonesia sebelum pemilihan presiden yang akan datang. Badai ekonomi tersebut dengan mudah akan mengempaskan biduk kecil demokrasi politik Indonesia, yang berpenghasilan per kapita dalam hitungan Boediono (Gubernur BI) berdasarkan purchasing power parity dollar AS tahun 2001 kira-kira hanya 4.000 dollar AS ini. Ketahanan biduk rakyat Indonesia masih sangat jauh dari stabilitasnya untuk mengarungi gelombang kritis samudra demokrasi yang setinggi 6.600 dollar AS.
Sejarah mengingatkan akan sistem politik demokrasi liberal yang pernah kita mulai dari pemilihan umum tahun 1955 yang sangat tertib, ternyata setelah 9 tahun lamanya harus berakhir secara menyedihkan.
Bung Karno atas desakan Tentara Nasional Indonesia terpaksa mengumumkan dekrit pada tahun 1959 untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Tidak terlalu sulit untuk meramalkan akhir dari suatu permulaan yang amburadul bagi keberlanjutan demokrasi kita pada tahun 2009 ini.
Barangkali memang benar, satu-satunya pelajaran yang diambil dari sejarah adalah bahwa orang tidak pernah belajar dari sejarah.***

AM Hendropriyono, Mantan Kepala Badan Intelijen Negara

Selasa, 23 Oktober 2007

MALAYSIA TERLAHIR SEBAGAI PECUNDANG

Sumber : Rakyat Merdeka, Selasa 23 Oktober 2007
Jakarta, RakyatMerdeka. Upaya "pencaplokan" negeri jiran Malaysia terhadap aset Indonesia tidak akan pernah berhenti. Demikian disampaikan bekas Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin. Setelah mempatenkan lagu rakyat Maluku, Rasa Sayange untuk promosi pariwisata, Oktober 2007, dan sebelumnya Desember 2002 telah memboyong Pulau Sipadan dan Ligitan, kini Malaysia masih juga mengincar kebudayaan Indonesia. Salah satunya, kata Hendro, adalah kesenian Wayang Kulit. Untuk mengetahui lebih jauh terkait hal ini, berikut wawancara Rakyat Merdeka dengan bekas menteri transmigrasi dan bekas menteri tenaga kerja di era Soeharto ini. Apa yang Anda ketahui tentang lagu "Rasa Sayange" yang kini dipatenkan Malaysia? Lagu Semalam di Malaya gubahan Saiful Bachri mulai tersohor ketika rakyat Indonesia mengenang perjuangan mereka membantu para patriot kemerdekaan Malaya melawan Inggris (Inggris termasuk Bangsa Dunia I pimpinan USA) pada 1948. Kurang lebih satu dekade kemudian, muncul lagu Pahlawanku Dirimba Raya, Kalimantan Utara, yang sama tersohornya ketika dilantunkan dengan merdu oleh Anna Manthovani untuk para sukarelawan Indonesia yang sedang membantu pejuang-pejuang Kalimantan Utara juga melawan Inggris, yang ingin memaksakan berdirinya Negara Federasi Malaysia. Lalu? Dalam suasana perang kemerdekaan Malaya (nama sebelum jadi Malaysia) maupun dalam perang gerilya melawan konsep Federasi Malaysia Di-Raja, para pejuang Indonesia di negeri jiran sana kerap mendendangkan lagu Rasa Sayang-sayange yang dipopulerkan rekaman Lokananta pada 1962, sebagai obat kerinduan mereka kepada segenap handai taulan yang ditinggalkan jauh di kampung halaman. Kini lagu rakyat Ambon itu telah diklaim sebagai lagu paten Malaysia, sebagaimana pula yang telah terjadi terhadap Batik dan Kebaya Jawa. Selain lagu "Rasa Sayange", kira-kira apa lagi yang akan dicaplok Malaysia? Bukan suatu hal yang muskil jika Wayang Kulit pun akhirnya juga dipatenkan Malaysia. Indikasinya? Sejak setahun belakangan ini sebuah channel TV Pemerintah Malaysia sibuk melakukan sosialisasi Wayang Kulit, dengan fokus Mr Tan sebagai dalang yang mengaku belajar dari gurunya seseorang Melayu. Kenapa hal itu mereka lakukan? Negeri itu (Malaysia) seolah sibuk merekayasa masa lalunya agar menjadi gemilang, untuk menunjang masa kininya yang mempesona oleh kemajuan-kemajuan di bidang sosial ekonomi dan militer, termasuk keberhasilan menerbangkan astronotnya, Sheik Muszaphar Shukor ke antariksa dalam wahana Soyuz milik Rusia (dulu bernama Uni Sovyet, pemimpin bangsa Dunia ke II). Dalam sejarahnya, bagaimana sih awal mula hubungan Indonesia-Malaysia? Dalam sejarah hubungan dengan Indonesia, posisi Malaysia terukir sebagai pecundang, ketika Sriwijaya di abad VI dan Majapahit di abad XIII merupakan bangsa yang dipertuan di Asia Tenggara. Setelah masuknya Islam, hegemoni Indonesia semakin nyata oleh serbuan Laksamana wanita Malahayati dari Aceh dan Ratu Kalinyamat dari Jepara, yang membuat porak porandanya benteng Portugis yang berkuasa di Malaka. Pada bulan September 1963 kegentaran menyelimuti para pemimpin Malaya (negara yang baru dimerdekakan Inggris 1957), ketika Bung Karno yang merasa Indonesia sebagai bangsa besar pemimpin bangsa-bangsa Dunia ke III (dulu: The New Emerging Forces) telah dihina dan dianggap sebagai kurcaci, mengumumkan konfrontasi terhadap Inggris untuk membubarkan Malaysia. Bisa diceritakan penyebab konfrontasi itu?Konfrontasi itu dipicu oleh Stephen Kalong Ningkan yang atas tekanan Inggris, mengumumkan persetujuan terbentuknya Malaysia, padahal referendum yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan menyertakan Indonesia sebagai pengawas, masih tengah berlangsung. Lalu? Pada tanggal 13 Februari 1964 Menlu Indonesia memanggil Leslie Fry, dubes Inggris di Indonesia dan menyatakan bahwa Malaysia adalah konsep neokolonialisme untuk mempertahankan kepentingan imperialis Inggris merampok kekayaan bukan hanya bangsa Kalimantan Utara, tetapi justru rakyat Indonesia. Untuk itu kepada Fry dengan tegas dinyatakan, bahwa Indonesia akan melakukan pengganyangan terhadap Malaysia. Implikasinya buat sekarang? Dengan kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa Federasi Malaysia akhirnya berdiri, terbuka kemungkinan tersimpannya rasa dendam terhadap Indonesia. Kegemilangan sejarah bangsa Indonesia masa lalu tidak mendukung kenyataan suramnya Indonesia masa kini. Kita terpaksa mengirim pembantu-pembantu rumah tangga (PRT) ke Malaysia, karena sempitnya lapangan kerja di dalam negeri. Termasuk balas dendam ke para TKI? Perasaan minderwaardig (rendah diri) Malaysia terhadap masa lalunya, ditambah dengan arogansi generasi muda Malaysia yang memandang rendah bangsa Indonesia sebagaimana sinyalemen Menlu Nur Hassan Wirajuda, telah menyebabkan terjadinya serangkaian tindak kekerasan dan pelecehan yang jauh melewati batas kepatutan terhadap bangsa Indonesia. Enam fraksi besar DPR, Kamis 11 Oktober 2007 dengan geram telah meminta agar pemerintah mengeluarkan travel warning bagi bangsa Indonesia ke Malaysia. "Ini lebih dari sekadar suatu peringatan biasa agar waspada dalam berpergian tersebut, bangsa Indonesia memerlukan suatu tindakan tegas, yang merubah secara drastis kebijakan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sebagai bekas menteri tenaga kerja, apa yang Anda usulkan? Negara-negara penerima TKI perlu segera dialihkan ke negara-negara yang manusianya telah memiliki peradaban, untuk dapat menghargai manusia lain, yaitu ke negara-negara Dunia I yang merupakan negara-negara yang sudah maju. Kalau tetap kirim ke Malaysia? Pengiriman pembantu-pembantu rumah tangga ke negara-negara bangsa dunia ke III yang masih cenderung memperlakukan pekerja kasar TKI terutama PRT sebagai budak-belian atau hamba-sahaya, dapat membuat kita semakin terpuruk menjadi bangsa dunia ke-IV. Klasifikasi seperti itu, bangsa dunia ke IV, tidak pernah ada dalam rumusan universal, sehingga berarti tidak mempunyai martabat sama sekali sebagai suatu bangsa". ***

AM Hendropriyono, Mantan Kepala BIN

Senin, 28 November 2005

ABDULLAH MAKHMUD HENDROPRIYONO: "AMERIKA SENDIRI TIDAK TAHU"


Umar al-Faruq berhasil kabur dari penjagaan ketat di penjara Bagram, Afganistan. Dunia pun terkejut. Peristiwa itu sebenarnya terjadi pada Juli lalu, namun kabarnya baru terkuak awal bulan ini. Faruq, menurut Amerika Serikat, berperan sebagai tangan kanan Usamah bin Ladin dalam organisasi Al-Qaidah. Dalam interogasinya, dia mengaku berada di belakang aksi pengeboman sejumlah gereja pada 2000 di berbagai tempat di Indonesia, serta mendalangi upaya pembunuhan Megawati Soekarnoputri ketika masih menjabat sebagai presiden.
Wajar jika pemerintah Indonesia merasa kecewa atas lolosnya Faruq. �Wah, kita kecewa berat," kata mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Abdullah Makhmud Hendropriyono. Hendropriyono bersama timnya menangkap Faruq di Bogor, Jawa Barat, 5 Juni 2002. Faruq hanya ditahan beberapa hari, kemudian dikirim ke penjara Bagram di bawah pengawasan tentara Amerika Serikat. Namun, Jenderal Purnawirawan berusia 60 tahun ini menolak jika penangkapan itu disebut sebagai order dari Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA).
Koran Washington Post pekan lalu melaporkan bahwa Hendropriyono bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam bidang apa pun. Hendro disebut-sebut kerap menjalin kontak dengan mantan Direktur CIA George Tennet. Sejak adanya kerja sama itu, Badan Intelijen Nasional (BIN) mendapatkan tangkapan-tangkapan besar.
Hendropriyono menampik klaim sepihak tersebut. Menurut dia, penangkapan Umar al-Faruq adalah hasil kerja BIN yang telah menyusup dalam jaringan teroris itu lama sebelumnya. Bahkan dia mengaku sempat kebingungan mendeportasi Faruq karena semua negara menolaknya. Wartawan Tempo Agung Rulianto, Hanibal W.Y. Wijayanta, dan Widiarsi Agustina menemui Hendropriyono di kantor pengacara Hendropriyono Law Office di Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu. Inilah petikan wawancara tersebut:
Mengapa Umar al-Faruq bisa lolos dari penjara Bagram, Afganistan, yang dijaga superketat?
Tahanan bisa lepas itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, melarikan diri sendiri. Kemungkinan kedua, dia melarikan diri dengan dibantu orang dalam. Nah, kalau orang bisa lepas, padahal penjaranya ketat, itu pasti dibantu. Pada kemungkinan kedua itu bisa jadi dilepas untuk mendapatkan yang lebih besar dari dia. Atau, kemungkinan dilepas untuk ditiadakan. Jadi, dia dilepas lalu ditangkap, tapi dalam keadaan mati. Kemungkinan itu sehari-hari dalam dunia intelijen.
Apakah Al-Faruq dilepas untuk membongkar jaringan teroris di Indonesia, seandainya memang dilepas?
Kalau rencana itu dilakukan tanpa koordinasi dengan Kepala BIN atau Presiden, maka ini perbuatan sangat bodoh, karena pasti akan gagal. Waktu dia kita tangkap (di Bogor, Jawa Barat, Juni 2002), walau cuma beberapa hari, kita sudah tahu network-nya. Kalau dia kembali, gampang kita tangkap saja. Ya, kalau tertangkap hidup. Kalau mati? Kecuali dipakai untuk tempat lain, kita tidak tahu, karena kita tidak cukup data.
Apa reaksi Anda ketika mendengar Al-Faruq lepas, sebab dulu tim Anda yang menangkap?
Wah, kecewa berat. Kita mendapat dia bukan diberi tahu Amerika seperti yang disebut-sebut selama ini. Amerika sendiri tidak tahu. Jadi, ketika peristiwa Poso meletus, anak buah saya menemukan beberapa orang asing ada di sana. Orang asing ini ada di kedua pihak yang bertikai. Tetapi yang ketahuan memberikan hasutan, penggalangan, dan sebagainya adalah Umar Faruq. Ada dokumen berupa rekaman film yang dibuat Seyam Reda (warga negara Jerman keturunan Arab) setelah dia kita tangkap (September 2002). Mukanya (Faruq) jelas, orangnya berbahasa arab dan di film itu diterjemahkan oleh Nasir.
Maksud Anda Nasir Abas, mantan Ketua Mantiqi III di Jamaah Islamiyah?
Nah! Apakah Nasir Abas yang itu atau Nasir yang lain, saya belum sempat tanya. Karena saat Nasir Abas sudah turun dan bisa dipakai polisi, saya tidak lagi menjabat. Kalau film itu diputar lagi, kita bisa lihat benar dia atau bukan.
Jadi, keberadaan Umar Faruq itu infonya bukan dari Amerika Serikat?
Tidak, tidak sama sekali. Makanya itu digulir-gulirkan oleh siapa, kita tidak tahu. Mungkin kelompok mereka juga. Setelah kita tangkap, kita kebingungan siapa orang ini. Karena waktu kita periksa dia seperti orang bloon saja. KTP-nya aspal. Makanya, pada 2001 saya sudah katakan, awas ada orang asing bermain di Poso. Wah, semuanya membantah, termasuk penguasa setempat. Mengapa saya katakan? Supaya masyarakat ikut berpartisipasi dan merazia juga.
Mengapa kemudian dia dideportasi?
Kesalahannya kan jelas menghasut. Waktu kita mau bawa dia ke pengadilan ditanyakan bukti. Kita bawa film. Katanya, film tidak bisa menjadi bukti, kaset juga tidak bisa. Terus apa? Saksi juga susah, sebab orang-orang pada tidak mau karena takut. Bagaimana mau kita bawa ke hukum kita? Kapolri meminta diusut di negeri kita. Saya bilang ini bukan soal locus delicti (tempat terjadinya perbuatan pidana). Ini cerita orang asing main di tempat kita sehingga bangsa kita bunuh-bunuhan. Lalu kita pikir sebaiknya kita deportasi saja orang ini. Masalahnya, mau dideportasi ke mana? Dia tidak mengaku asalnya dari mana. Dia bilang orang Kuwait, terus Kuwait bikin press conference menolak. Kita pulangkan ke Pakistan, dia bilang bukan orang Pakistan. Kedutaan Pakistan juga menolaknya.
Bagaimana akhirnya Anda menyelesaikannya?
Kita saling tukar catatan. Our enemy's enemy is our friend (musuhnya musuh adalah teman kita), karena kan tidak ada teman atau musuh sejati. Eh, Pakistan barusan menangkap Abu Zubaida yang lalu dipinjam Amerika Serikat karena dia pimpinan Al-Qaidah. Abu Zubaida bilang, ini (Umar Faruq) anak buah saya. Nah, jadi bukannya kita mempersembahkan seperti Tempo bilang. Kita itu siapa saja, mau Amerika, mau Rusia, mau Cina, silakan saja. Itu makanya saya bilang, Al-Qaidah main di Poso, bukan Jamaah Islamiyah, bukan yang lain.
Saat penangkapan Umar Faruq, disebut-sebut peran Abdul Haris yang diduga agen BIN. Apakah dia disusupkan ke jaringan ini sejak awal?
Sebelum saya jadi Kepala BIN, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Nasional) dan Bais (Badan Intelijen Strategis dari militer) anggotanya sudah menyusup ke mana-mana. Ada yang jadi wartawan, kelompok mahasiswa, ada juga yang sekolah beneran sampai jadi dokter. Jadi, kalau nama memang susah kita cari. Banyak sekali nama Abdul Haris di BIN. Nah Abdul Haris siapa? Karena saya memang umumkan ke semua anggota, saya tak butuhkan nama. Jadi, nama bisa ganti.
Abdul Haris yang mengaku mendapat proyek pemasangan karpet di BIN.
Wah, kalau orang-orang operasional bisa siapa saja. Seperti nyewa, ngontrak, jadi mahasiswa, itu kan bisa-bisanya bagaimana mereka bersiasat. Ada yang intel Melayu yang masuknya ketahuan. Ada yang pintar masuknya tidak ketahuan sampai dapat posisi tinggi. Jadi, dalam kita menentukan sasaran, kita mendapat masukan dari informan. Mereka ini hanya memberi info, tetapi tidak melakukan tindakan apa-apa. Sementara ada juga agen kita di sana. Terakhir yang sangat meyakinkan saat kita tangkap Seyam Reda. Seyam Reda ini contoh bahwa ternyata saya tidak salah tangkap meskipun sebelumnya saya sempat ragu.
Apa saja yang dilakukan intelijen saat menyusup?
Mereka melakukan tiga hal, penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Pengamanan itu bagaimana cara dia mengamankan dirinya, penyelidikan bagaimana dia masuk ke sasaran-sasaran atau ikut memonitor, kemudian menggalang dan mengkondisikan dengan cara merangkul. Jadi, kalau kita sudah masuk, orang itu kita rangkul. Tetapi kalau sudah tidak bisa, kita cari siapa musuh dia. Musuhnya ini yang kita garap. Makanya kita (minta) izin untuk menahan orang selama empat hari dan keluarganya kita kasih tahu-begitu saja saya tidak dikasih.
Dikhawatirkan akan menjadi represif seperti zaman dahulu.
Lho, kalau zaman dahulu kan tidak ada aturannya. Nah, sekarang diatur dong dalam satu organisasi itu, siapa yang boleh diambil.
Misalnya?
JI yang begitu kecil saja tidak semuanya setuju dengan teror, di antaranya Nasir Abas yang sejak awal tidak setuju. Jadi, yang kita pegang Nasir. Waktu di Poso saya penasaran apakah ini Nasir Abas. Bagaimana caranya supaya gue bisa ambil dia. Tetapi kalau itu sampai saya ambil, pasti ramai. Karena itu saya ngotot ngincar dia. Eh, sekarang ditangkap dan identitasnya terbuka karena bom Bali. Kalau sudah terbuka kan tidak ada gunanya. Paling disuruh nulis buku.
Apakah intelijen kita juga terlibat dalam penangkapan Hambali?
Tidak. Tetapi saya menulis pertanyaan yang saya kirim ke sana (Thailand, tempat Hambali ditahan), lalu dikasih jawaban dari sana. Banyak pertanyaan tentang situasi Indonesia, hanya tidak bisa dipakai untuk menyeret ke hukum, karena orangnya harus dihadirkan. Nah, cap yang diberikan kepada saya, apalagi setelah saya pensiun, bahwa saya bonekanya Amerika. Padahal, saya tidak kenal sama si Bush. Satu-satunya orang Amerika yang saya kenal yang kerja di bengkel BMW... hahaha!
Bagaimana upaya kerja sama intelijen antarnegara?
Saya kan dulu Ketua Organisasi Intelijen Negara-negara Islam. Kalau kita kumpul itu saling bagi informasi. Kalau saya usulkan kerja sama, kita itu lebih dekat ke Pakistan, karena di situ sarangnya. Kalau di sini kan cuma sarang-sarangan. Mereka sekolahnya di Pakistan semua. Kemudian muncul konsep enlightening moderation dari Pervez Musharraf (Presiden Pakistan). Pemerintah Pakistan mensubsidi semua pesantren di sana, jadi tidak boleh swasta. Artinya, kurikulumnya juga disubsidi dan dibina. Musharraf bicara kepada saya: "Sekarang saya kasih (santri Pakistan) pelajaran ilmu pengetahuan tinggi agar mereka tertarik. Daripada hanya memperdalam filsafat, nanti ngomongnya di awang-awang." Pesantren di sana disuruh memilih, yang mau kedokteran, mau teknologi pertanian, pemerintah menyiapkan.
Bagaimana Anda melihat perburuan pasangan Dr Azahari dan Noor Din Top?
Saya berani bilang sesudah Azahari mati, Noor Din Top akan segera tertangkap, karena simpul-simpulnya pasti sudah pada ketakutan. Mereka akan berpikir, Azahari yang orang penting dan dilindungi saja tertangkap, apalagi saya. Ini pasti ada yang membocorkan. Makanya, kalau ada orang yang datang, pasti mereka akan bilang, �Saya tidak mau ikut-ikut lagi."
Bukankah di luar masih ada Zulkarnaen, Umar Patek, Dulmatin yang bisa melakukan balas dendam?
Ya, tapi mereka kan tetap tidak bisa sendiri. Mereka harus cari dulu orang yang bisa dipercaya. Mereka pasti mengira orang-orang yang dekat mereka jangan-jangan intel. Itu kan dia tetap takut. Saya kok tidak melihat mereka sebagai bahaya. Karena mereka harus merekrut lagi orang-orang yang bisa dipercaya. Berarti itu mulai dari anaknya sendiri, keponakan, dan sebagainya. Itu makan waktu, baru dia akan main lagi.
Bagaimana dengan kader-kader di bawah mereka?
Memang mereka tidak ada istirahat. Kita harus pandai membaca mereka karena ini perang. Mereka ini kan berangkat ke Afganistan yang sedang perang melawan Soviet. Kita mengirimkan orang menjadi mujahidin di sana, padahal itu melanggar UUD. Tetapi setelah menang mereka terkejut, mengapa jadinya Taliban yang mendapat kekuasaan, padahal mereka yang perang. Nah, orang-orang seperti Ja'far Umar Thalib: dia pernah bertemu Usamah Bin Ladin saat masih pakai dasi, sementara dia sudah perang. Tahu-tahu sekarang Usamah yang jadi bosnya, sementara dia terlempar. Nah, orang-orang yang kecewa pada keadaan ini bisa dipakai intelijen.
Nama Anda disebut-sebut dalam kasus kematian aktivis Munir. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya itu kan leher saja, dan saya tidak pernah jadi yang nomor satu. Jadi, saya itu dikiranya selalu sebagai operator. Bagi saya, itu bukan barang baru. Mulai Theys (Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua), saya juga disebut yang membunuh. Bahkan Tempo pun sampai sekarang belum meralat, padahal sudah terbukti bukan saya. Soal Warsidi (saat itu Hendro menjadi Komandan Korem Garuda Hitam Lampung, 1989) saja, yang disuruh tanggung jawab kan saya. Memangnya waktu itu saya tidak punya atasan? Waktu itu kan atasan saya ngumpul semua di sana. Kok, jadi saya yang disebut? Tetapi setiap kali ditanya siapa atasannya, ya lihat saja sendiri. Bos saya datangnya pakai helikopter ke sana-sini. Eh, saya yang dibilang menyerbu pakai helikopter. Padahal, sampai waktu itu saya belum pernah naik heli. Bagi saya, seorang perwira tidak boleh lempar badan, kecuali di pengadilan, karena disumpah.
Apakah Anda pernah diminta menjadi saksi terdakwa Pollycarpus yang disebut agen BIN dalam kasus pembunuhan Munir?
Kalau dipanggil, saya mau. Tetapi kan saya tidak kenal, jadi biarkan saja. Wong namanya saja aneh. Saya kira orang Ambon, ternyata orang Jawa. Makanya saya tidak takut, silakan saja. Wong saya tidak ngerasa. Dan saya tidak bodoh begitu. Saya kan sudah tua di intelijen. Masak, begitu caranya kalau saya menyuruh orang yang saya tidak kenal. Mana mungkin? Tolol amat.

Senin, 21 November 2005

HENDROPRIYONO : MIRIP KUBURAN

Sepi benar suasana rumah Jenderal (Purn.) Hendropriyono, 60 tahun, akhirakhir ini. Biasanya, kediaman mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) di Cibubur, Jakarta Timur, itu riuh-rendah oleh kicauan unggas-unggas di pagi hari saat mendengar petikan jemari tangan tuannya. "Mereka saya ungsikan semua," ujarnya kepada Tempo. Tak semua hewan di rumah itu mengungsi, sehingga Hendro masih bisa terhibur saat memberi makan ikan-ikan koi segede paha di kolam depan rumahnya. Wabah flu burung rupanya membikin ngeri sang Jenderal. Dia menitipkan 42 ekor koleksi unggasnya ke Taman Safari, Cisarua. "Saya takut diprotes tetangga," katanya. Rombongan "pengungsi" itu terdiri dari beo nias, cucakrawa, poksai, ayam hutan, ayam cemani, ayam bangkok, dan ayam pelung. Semuanya mahir berkicau dalam aneka nada dan gaya.
Hendro mengaku kesepian betul tanpa rombongan unggas di rumahnya yang seluas 1.200 meter persegi. Rumah itu kini hanya dihuni berdua dengan istrinya karena tiga anak mereka telah berumah tangga. Walau masih ada beberapa ajudan, pembantu, dan sopir, Hendro tetap merasa sunyi. "Sejak burung-burung itu mengungsi, rumah ini sepi kayak kuburan," ujar kakek delapan cucu ini dalam nada memelas.

Senin, 14 November 2005

AL-FAROUQ'S ESCAPE 'STAGED': EX-BIN CHIEF

SUMBER :   The Jakarta Post, Jakarta | Mon, 11/14/2005
Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta

The escape of terrorist suspect Omar al-Farouq from the United States detention may be a ploy to track down most-wanted terror master Osama bin Laden, a former intelligence chief says.
A.M. Hendropriyono, former State Intelligence Agency (BIN) director, told The Jakarta Post on Friday that he had strong grounds to suspect a hidden agenda behind the escape of al-Farouq, a Kuwait-born terrorist suspect who Indonesia handed over to the U.S. in September 2002, one month before the Bali blasts that killed 202 people.
""Following his escape, al-Farouq appeared in an interview with an Arabian TV station brandishing an automatic rifle. It is impossible that a terrorist group would trust and give him a gun after three years in U.S. detention. It is possible that he was prepared by his users to conduct a special mission.
""Second, it is quite strange that Washington remained silent about al-Farouq's escape. It can be assumed that U.S. security authorities were informed of his escape from the prison in July, but until now, President George W. Bush has not explained it, at least not to the American public,"" he said.
Hendropriyono, who was responsible for al-Farouq's transfer to U.S. custody, said it was very likely that al-Farouq had been brainwashed during his confinement at the Baghram maximum security detention center in Afghanistan.
""Brainwashing does not take years, it can take just two days,"" he said.
Hendropriyono said it appeared that al-Farouq's brainwashing had been effective as al-Farouq was cooperative and provided detailed information when two Indonesian police officer questioned him in Afghanistan following the hand-over. Al-Farouq had led the police to Muslim cleric Abu Bakar Ba'asyir, who is serving his 30-month jail term for conspiring the 2002 Bali blasts.
He also said it was possible that the U.S. was using al-Farouq to trace terrorist networks in the Middle East, Afghanistan and Pakistan, and locate bin Laden, who is still at large following the Sept. 11, 2001 attack on the U.S.
It is unlikely that al-Farouq would come back to Indonesia as the U.S. had not coordinated with the Indonesian authorities regarding his escape, Hendropriyono added.
The fact that President Susilo Bambang Yudhoyono has warned of possible strikes by al-Farouq indicates that Indonesia was never informed of the apparent U.S. plan, said Hendropriyono.
""But if he returns to Indonesia anyway, BIN and the police know all his contact persons and the accomplices he may look for in Bogor, Poso, Palu, Makassar and Ambon, five towns where he operated between 1999 and 2002,"" he said.
Asked about the public outrage toward him for handing al-Farouq over to the U.S. three years ago, Hendropriyono said the Indonesian authorities had no legal basis to charge him for terrorism because the country had not enacted an applicable law.
""BIN arrested him because he was one of the most-wanted persons in connection with the Sept. 11 tragedy and then deported him for immigration violations and identity card counterfeit. BIN was never instructed by the U.S. or other countries to arrest him.
""We nabbed him because he was dangerous and if he had not been arrested more people might have been killed in bomb attacks,"" he said.
Al-Farouq was arrested by intelligence agents in the Bogor Grand Mosque after BIN received a video recording showing him leading a bloody attack on a Christian village in Poso, Central Sulawesi.
Hendropriyono said al-Farouq had held five different passports and various fake Indonesian identity cards under different names but did not speak Indonesian.
The former intelligence chief expressed regret that one of al-Farouq's operatives who was later arrested, Seyam Reda, had escaped and many members of al-Qaeda-related groups were still operating in Poso, where sectarian conflict left 1,000 dead between 2000 and 2001.
Al-Farouq, Reda and several other al-Qaeda operatives were brought into the country by Parlindungan Siregar in 1999, Hendropriyono said. Parlindungan has been declared a suspect in the Madrid bombing in March last year.

Sabtu, 12 November 2005

POLICE CHALLENGED TO WORK HARDER AFTER AZAHARI'S DEATH

SUMBER : The Jakarta Post, Jakarta | Sat, 11/12/2005
Ridwan Max Sijabat and Tiarma Siboro, The Jakarta Post/Jakarta

Following the death of Azahari bin Husin during a raid at his hideout in East Java, the next two weeks could be a crucial period for the security and intelligence apparatus' long struggle to curb terrorism in this country, intelligence experts say.
""The raid (and Azahari's death) has encouraged security personnel, especially from the National Police and the intelligence agencies to work harder to dig up more information on Azahari's terror network to break it up for good. The police are racing against time to find Azahari's compatriot Noordin Moh. Top and his group members,"" former chief of the State Intelligence Agency (BIN) A.M. Hendropriyono told The Jakarta Post on Friday.
Azahari, a Malaysian citizen and one of the most wanted terrorists in Southeast Asia, along with Budi, alias Arman, a local operative, were killed during a shootout on Wednesday in East Java. One of their main cohorts was arrested in Malang, while several others were nearly caught in Semarang, Central Java.
Giving a thumbs-up to the police, Hendropriyono said security officers and BIN agents now had the challenge to arrest Noordin and his local operatives. ""The capture of this big fish will show the world Indonesia's seriousness in the war on terrorism and return the people's confidence in the government.""
Asked whether Azahari's death would eliminate terror threats in the future, Hendropriyono said it depended on the performance of the police and BIN over the next few weeks.
""Terror threats will be getting more intense if security forces fail to find the remaining members of their terrorist network, because Azahari's death could provoke his followers to become more militant and set up new cells. The threat will weaken if security forces and BIN make a significant achievement,"" he said, while speculating that for the time being, terror activities would remain dormant because the operatives had been put into a corner.
Terrorism was essentially psychological warfare and the security forces should use this crucial time to win that war, he added.
Separately, Insp. Gen. (ret) Ansja'ad Mbai, who heads the antiterror desk at the Office of Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs, said the death of Azahari was a bit of shock therapy for the members of his terror cells, but he warned that this could also drive them ""to launch triple-strength attacks as part of the psychological war.""
""After the death of Azahari, maybe we'll see bomb attacks taper off for quite some time, but another kind of terror can be just starting. The terrorist groups can pursue the terror threats in so many ways: bomb attacks, vandalism, assassinations or anything to create psychological trauma among the public,"" Ansja'ad explained, while referring to the recent beheadings and shooting attacks on female students in Poso, Central Sulawesi.
""If we understand more about the 'terrorist triangle', from Sulawesi to Maluku to the southern Philippines, we can clearly see how the network has worked so far. Each group within this network has developed another cell that works independently, and the death of one of its leaders won't stop their movement,"" Ansja'ad said.
Local antiterror experts predicted that there are about 300 men categorized simply as ""Islamic militants"", who are still roaming about freely in this country.
Ansja'ad said that most of them had graduated from paramilitary training camps either in Afghanistan or the southern Philippines.
Ansja'ad also said that security personnel would continue monitoring some Islamic boarding schools, including Al Zaitun in West Java, because ""some of the individuals that have gone there promote deviant thoughts about religion.""
""The terrorists pursue different methods to meet their goals, from spreading fanaticism in sermons to forcing their will through violence. We must remain alert about their methods,"" Ansja'ad added.

Selasa, 10 Mei 2005

INDONESIA BADLY NEEDS TO ENACT INTTELLIGENCE LAW

SUMBER : The Jakarta Post, Jakarta | Wed, 10/05/2005
A.M. Hendropriyono, Jakarta

The weekend's repeat terrorist attack on Bali comes at the worst possible moment for the resort island. Not only did the blasts claim human lives, but they will no doubt translate into a devastating reverse for Bali's tourism industry -- which had only recently clawed its way back to normalcy following the October 2002 bombing.
For me, this latest bout of terrorism offered an unwelcome sense of dj vu. As the chief of the State Intelligence Agency (BIN) in 2002, I all too vividly recall the briefings on body counts from the first Bali bombings, which escalated by the hour. Sadly, most pundits believe that the same terrorists -- led by Noordin M. Top and Azhari bin Husin -- masterminded both campaigns, as well as all of the annual attacks in between.
Now, as then, government critics have been quick to point out the shortcomings of the country's intelligence bodies. They question, understandably, why the authorities have not been able to capture the country's top fugitives despite a manhunt of more than three years. And many critically compare the abilities of today's intelligence officers with the reputed efficiencies of the intelligence units during the New Order.
This comparison, I believe, is unfair. For one thing, the pre-1998 intelligence leaders and those of today are largely the same people. I, for example, was a director in the Armed Forces Intelligence Agency (then known by the acronym BIA) during the New Order, then became chief of BIN during the reform era. My successor and the current chief of BIN, Sjamsir Siregar, was a former BIA chief during the heyday of the Soeharto regime.
Why, then, did we seemingly have more success prior to 1998? An analogy is useful. The intelligence agencies, then and now are like an automobile. We might have the same car, but its performance can be radically different depending on the driver and the roads driven. The driver, in this case, would be the President, while the route driven is dictated by the legislature.
As the end user of intelligence, the President needs to clearly set out the goals and expectations for his or her intelligence agency. Just as important, the legislature has to pass an intelligence law that clearly lays out what is permissible conduct. I implored the government of Megawati Soekarnoputri and the legislature to pass such a law. I argued that it was necessary to protect both the citizenry at large and the members of the intelligence service.
But most of all, I wanted an intelligence law in order to enable BIN to detain suspects for limited periods. Such detentions would not be for judicial reasons -- the police already have that authority -- but rather for operational reasons. Example: Intelligence officers sometimes need the ability to discretely take aside members of radical organizations in an attempt to entice them into providing information from inside terrorist cells. Receiving intelligence in this manner, BIN could better anticipate terrorist acts before they took place, before a crime had been committed. Limitations to prevent abuses could and should be contained in the letter of the law.
Unfortunately, the passage of such a law did not come about during the Megawati presidency. I would hope that Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) shows greater backbone in this regard.
For several reasons, SBY can ill afford to wait.
First, Indonesia's terrorists seem to be having success in replenishing their ranks, in part by sending trainees to the southern Philippines.
Second, there are hints that Indonesian militants are now seeking out jihad in the sectarian violence in southern Thailand. If true, there is the chance that the Indonesian government could repeat the same mistake it made in the late eighties, when it turned a blind eye to literally hundreds of militants that trained in Pakistan for the anti-Soviet jihad. Those Pakistani-trained extremists, of course, went on to populate the upper echelons of Jamaah Islamiyah.
And while I am not positing a link with the Bali bombings, there is general social dissent over the recent and massive fuel price hike. Besides some clumsy attempts at socializing their decision -- such as the rather amateurish mass SMS that went out over the weekend -- the government has not done enough to explain its reasoning for the increases. This is all the more urgent given recent hints, probably well founded, which suggest certain political interest groups are trying to exacerbate this discontent for their own personal agendas.
What can the SBY administration do about all this?
First, as a priority he needs to give teeth to his intelligence organizations in the form of an intelligence bill.
Second, on the eve of this year's Ramadhan fasting month, he needs to more firmly condemn these latest terrorist attacks for the aberration of Islam that they are. It is a sad fact that the top terrorist fugitives in this country have been able to stay ahead of the law because they are afforded sanctuary from a network of active sympathizers, especially on Java. The government needs to win over these sympathizers, or at least gain their neutrality. They need to do this through a grass-roots nationwide education campaign that holds up the religious tolerance for which Indonesia was once famous.
Third, the government needs to redouble efforts to work with foreign nations to rid the region of religious radicalism. Such cooperation, in turn, can dovetail with enhanced bilateral and multilateral efforts overcoming other transnational problems, such as the spread of avian influenza and haze from forest fires, to name a few.
All of these steps are a matter of urgency. The country can ill afford to wait around for the next annual terrorist strike. But more than that, except for our own 230 million citizens, we are now in a time when the 1997 regional economic contagion is a fading memory for most of ASEAN. Indeed, when Singaporean Prime Minister Lee Hsien Loong outlined a pragmatic four-fold vision for ASEAN's future at a recent leader's summit -- the centerpiece of which was an admonishment for members to look beyond national interests for the regional good -- Indonesia, sadly, looks like it alone could carry its crisis into a second decade.

The writer is former minister of transmigration and manpower, and former head of the National Intelligence Agency (BIN).