Senin, 11 Juli 2011

KEKHALIFAHAN AKAN JADI NEW NATION STATE

Sumber :  Majalah Sabili Edisi 19/XVI Maret 2009
 
Wawancara Khusus 19/XVI
Abdullah Mahmud Hendropriyono, Mantan Kepala BIN

Tatanan liberal-kapitalistik rupanya benar-benar telah mencengkram kita, bahkan dunia. Sistem politik yang demokratis, ujung-ujungnya juga berada dalam genggamannya. Para kapitalis dan konglomerat yang menguasai sebagian besar aset di sebuah negara bahkan di beberapa negara, dengan uangnya, bisa mengendalikan segalanya, termasuk sistem negara-bangsa. Ini tak hanya terjadi di negara berkembang, di negara maju pun kondisinya sama.
Itulah petikan pemikiran AM Hendropriyono. Meski tak lagi menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), ia tetap memiliki kesibukan yang tinggi. Beberapa waktu lalu, penerima Bintang Dharma, Satya Lencana Bhakti, untuk luka-lukanya di medan tempur ini, sempat diundang dalam sebuah diskusi di Malaysia, berbicara tentang masa depan nation state. Menurutnya, pada masa yang akan datang, akan muncul nasionalisme baru khususnya di negara-negara berkembang.
Kepada Wartawan Sabili Dwi Hardianto dan Chairul Akhmad serta fotografer Arief Kamaludin, mantan Panglima Kodam Jaya tahun 1993 ini menuturkan pandangannya terkait new nation state, militansi, terorisme, dan kekhalifahan. Berikut petikannya:

Apakah Indonesia lebih cocok dipegang militer daripada sipil?
Sebetulnya tidak. Negara berkembang umumnya masih membutuhkan kharisma seorang pemimpin. Kharisma itu biasanya melekat pada orang yang militan. Tapi orang militan belum tentu militer. Banyak tentara yang tidak militan, tapi banyak juga orang sipil yang militan. Misalnya, Jenderal Sudirman, dia guru Sekolah Rakyat, tapi militansinya luar biasa. Ia menjadi laskar pejuang bersama rekan-rekannya dari Muhammadiyah, tempat saya dulu sekolah. Kemudian ia dipilih secara demokratis menjadi Panglima Besar TNI, padahal tentara profesional saat itu cukup banyak. Begitu juga dengan Bung Karno, Fidel Castro, Saddam Hussein. Marcos dan Mao Tze Dong. Yang dari tentara ada Muammar Qaddafi dan Gamal Abdul Naser.
Apakah militansi masih diperlukan di negara kita?
Di negara berkembang, masyarakat kagum dengan orang yang berjiwa militan, tegas dan jelas arahnya. Masyarakat negara berkembang umumnya masih paternalistik. Jadi pemimpinnya harus memberikan kejelasan, pengarahan yang tegas, cepat dan tepat pada rakyat. Tegas itu bukan kasar. Walaupun sambil senyum, ia bisa mengatakan hitam itu hitam, putih ya putih, seperti (alm) Pak Harto. Selama saya menjadi staf dan menterinya, beliau tak pernah marah. Kalau marah, kelihatan dari mukanya. Yang saya tahu, kalau Pak Harto marah, orang yang dimarahi tak lama pasti diganti.
Bapak dulu sekolah di Muhammadiyah?
Iya, di Muhammadiyah Jakarta. Waktu kelas 3 pindah ke SMP 5 biar bisa masuk SMA Negeri. Dulu tak seperti sekarang, dari sekolah Muhammadiyah, al-Irsyad, dan sekolah Islam lain tak bisa masuk negeri. Sekolah saya di Jl Garuda 33 Kemayoran, sebelah Perguruan Taman Siswa, tempat sekolahnya Benyamin. Nanik Wijaya itu juga teman saya.
Kenapa jadi tentara?
Bapak saya pejuang kemedekaan. Tahun 1948 pindah ke Jakarta. Setahun kemudian kena tembak, tapi selamat. Kemudian pindah menjadi PNS. Terakhir di Kementerian Agraria. Waktu saya kecil, banyak prajurit datang ke rumah saya. Kebetulan ayah dekat dengan kolonel Abimanyu dan Kasman Singodimejo, tokoh Masyumi. Awalnya, Bapak masuk PNI, pindah ke Masyumi, kemudian keluar lagi, karena pusing, ribut semua.
Bapak juga cerita, negeri kita baru merdeka tapi diacak-acak Amerika, karena sejak 1956 Bung Karno merapat ke Soviet, khususnya langkah nasionalisasi. Amerika bertanya, siapa itu Sukarno? Perusahaan asing milik Belanda habis diambil alih. Jika merujuk buku sejarah, cerita ini tak sama. Bapak bilang, tentara paling benar, bukan partai politik. Dari sinilah, saya memutuskan jadi tentara, meski ibu menginginkan saya jadi dokter. Pesan bapak, saya harus siap, sekali fight harus benar-benar, jangan jadi politikus.
Pandangan Anda soal terorisme?
Ilmu harus dikejar meski sampai ke negeri Cina. Pepatah Cina mengatakan, untuk mengetahui musuh perlu seribu kali perang seribu kali menang. Makanya, kita harus membersihkan diri sendiri baru berhadapan dengan musuh. Kalau tidak, diri kita dimanfaatkan musuh untuk menghancurkan dari dalam. Karenanya, saya melihat, teroris itu perlu dibersihkan terlebih dulu, karena keberadaan mereka lebih besar mudharatnya ketimbang manfaatnya bagi perjuangan umat Islam di dunia internasional. Jika kita tidak membersihkan diri, semuanya bisa dianggap teroris. Anggapan selanjutnya adalah agama kita adalah agama teroris. Coba perhatikan, perkembangan umat Islam di dunia paling cepat terjadi di Amerika. Bukan hanya kulit hitam, bule-bulenya juga ikutan. Karenanya, harus tertanam dibenak masyarakat internasional bahwa kita bukan teroris. Kita justru menghantam teroris, kamu yang teroris.
Kenapa Umar Faruq diserahkan ke Amerika?
Umar Faruq itu dari luar masuk ke Indonesia, kita tak tahu dia siapa. Yang kita tahu ia masuk bagi-bagi senjata, korban tewas bukan hanya non Muslim, yang Muslim pun banyak yang meninggal. Jadi apa maksudnya membagikan senjata di daerah konflik? Jika untuk dididik dengan benar dan jelas, akan beda hasilnya. Berapa kali saya bilang, tangkap atau suruh keluar. Karena perintah saya sudah dipublikasikan, tapi tidak tertangkap-tangkap juga, saya kesal. Ya sudah, dia yang kita ambil karena yang lain sudah lari.
Sejak itu, banyak yang marah pada saya, padahal mereka tidak mengerti persoalannya. Saya punya bukti. Ada saksi, dokumen, dan filmnya. Apakah kita mau diadu seperti ini biar pada mati semua? Saya juga ungkapkan semuanya di DPR, saya kasih foto-fotonya. Tapi yang menyerang saya bukan hanya sesama Muslim, ada juga anggota dewan yang non-Muslim ikut-ikutan marahin saya. Akhirnya saya bilang, sekarang bapak-bapak saja gantiin saya di sini. Tiap hari ada saja yang mati, dan yang paling banyak justru orang Islam.
Ada yang mengatakan, informasi tentang Umar Faruq itu dari Amerika?
Itu salah besar. Yang melapor pada saya namanya As’ad. Kita memang melakukan pengecekan ke sana, ternyata dia paling dicari oleh Amerika. Jika kita biarin, dikira kita yang teroris nanti. Padahal kita tak tahu apa-apa. Di sini orang salah pahamnya. Saya berprinsip, mengkhianati apa saja itu tidak benar, apalagi mengkhianati agama sendiri. Saya tidak mau jadi penghuni neraka. Sekarang mereka sudah tahu, bahwa ternyata umat Islam yang dirugikan dengan cara berjuang seperti itu. Ini kan kontra produktif buat kita.
Berarti kita tunduk pada kepentingan Amerika?
Jika kita membersihkan diri sendiri bukan berarti membela Amerika. Sama seperti Adam Malik yang membersihkan Komunis. Waktu itu, Amerika benci Komunis dan takut sama Rusia. Di negeri ini yang punya akses, ya, Adam Malik. Akhirnya ada kerjasama intelijen. Intelijen tidak harus orang intel. Siapa saja bisa. Kerjasama internasional menghadapi musuh bersama itu biasa. Ternyata Adam Malik dibilang orang CIA. Susah juga. Itu pandangan picik.
Maksudnya picik apa?
Dalam diskusi di Lemhanas, saya contohkan: Amerika dulu membenci Cina. Begitu kelihatan Cina bermusuhan dengan Rusia, Amerika lebih membenci Rusia. Nixon pun terbang ke Cina, menjalin kerjasama. Itu sebabnya, Cina tak jadi mendukung Indonesia melawan Inggris pada peristiwa Dwikora, “Ganyang Malaysia”. Bukan berarti ganyang orang Malaysia, tapi proyek Malaysia yang dibuat Inggris. Awalnya, proyek ini mau dimintakan pendapat rakyat Serawak, mau berdiri sendiri atau bergabung dengan Malaysia.
Pendapat rakyat belum selesai, Menteri Besar Serawak, mengumumkan bahwa rakyat Serawak setuju masuk Malaysia. Sukarno marah. Dibentuklah Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang dipimpin Abang Kifli. Di Serawak juga ada kekuatan sendiri, namanya Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) berhaluan kiri, Komunis. Sukarno didukung Jenderal Nasution, tentara islami. Cina tak jadi bantu karena distop Amerika, akibatnya Inggris tak jadi nyerah, padahal sudah mau nyerah. Ini diceritakan Wong Kicok, Panglima PGRS, ketika ketemu saya di Singapura.
Inggris mau menyerah pada kita?
Iya. Inggris tidak tahan melawan kita, karena Singapura di-cut dengan 12 kapal selam. Tapi semuanya berubah, kita diacak-acak Inggris dan Amerika karena kita sibuk menghadapi G 30 S PKI. Dalaman kita pun gerowong. Yang kedua, front terdepan yakni Cina tak jadi membantu karena didekati sama Nixon. Kita cuma bersandar pada Soviet. Sementara Soviet sibuk menghadapi perang dingin dengan Amerika.
Kabarnya, Anda pernah dipersulit masuk Amerika?
Betul. Karena nama saya Abdullah Mahmud, meski ada visa, masih disuruh minggir. Imigrasi Amerika tanya, kenapa baru sekarang datang padahal visanya dikeluarkan sejak tanggal sekian. Saya bilang, ini pertanyaan bodoh, yang jadi korban teroris itu bangsa kami, bukan kamu. Kamu cuma sekali saja. Saya telpon kedutaan besar akhirnya, lewat. Itulah pragmatisme, kita berjuang untuk kita sendiri. Dia memanfaatkan kita, setelah selesai, dia tak membutuhkan kita lagi. Buktinya, saya saja diperiksa ketat apalagi yang bukan saya.
Mungkinkah kita kembali disegani?
Mungkin. Jika kita bersatu, memiliki kebijakan politik dan kekuatan yang jelas, tentara kuat, kemudian melakukan diplomasi, terlibat dalam International Court of Justice kita akan diperhitungkan. Bagaimana bisa lobi jika tak punya kekuatan.
Kita sedang mengarah ke sana?
Sebagai mantan orang intelijen, saya menduga, Indonesia dan negara-negera berkembang akan terjangkiti nasionalisme baru. Akan timbul kebangsaan masing-masing yang berbeda dengan nasionalisme lama yang revolusioner. Sekarang, perangnya ekonomi, politik, dan militer. Kalau dulu kita bergantung, sekarang kita menjadi saling bergantung. Jangan bergantung terus sama Amerika. Dia juga harus bergantung sama kita. Sekarang tentara kita mulai dibangun, membuat panser dan persenjataan sendiri. Sejak dulu kita bisa bikin reaktor atom di Jogja. Itu gertakan besar. Jangankan Malaysia, Inggris saja kaget. Iran membuat nuklir, langsung dilirik dunia. Sedangkan kita dibuat untuk tidak bisa. AC saja yang teknologinya rendah masih impor. Makanya, kita harus bersatu membangun kekuatan ekonomi kerakyatan.
Bagaimana caranya?
Globalisasi ini kenyataan, harus dihadapi. Masalahnya, yang menguasai adalah pengibar panji-panji Liberal-Kapitalisme. Paham ini dilandasi oleh filsafat Protestanisme Sekular. Sedangkan filsafat Pancasila tidak begitu. Mereka sekuler, sedangkan kita Ketuhanan yang Maha Esa. Yang munafik itu Amerika, duitnya saja in God we trust, tapi negerinya sekuler. Tapi negeri lain, orangnya sekuler, negerinya beragama.
Jadi Liberal-Kapitalisme benar-benar telah mencengkram kita?
Benar. Bangunan nation state yang mendominasi dunia saat ini berasal dari Revolusi Prancis. Revolusi yang sukses menumbangkan kekuasaan Katolik dan monarki ini dimotori oleh para pengusaha. Mereka menggosok rakyat untuk menyerbu Bastile. Jadi, Revolusi Prancis adalah Revolusi Borjuis. Rakyat kecil tetap susah. Konsep negara bangsa itu disebarkan ke seluruh dunia. Di Indonesia, nation state kita sekarang dikuasai pengusaha. Bisa dibuktikan, yang akan datang, kalau bukan presiden, wakilnya adalah pengusaha. Berikutnya, pada 2014 presidennya juga pengusaha. Ini adalah bentukan nation state yang tadi saya bilang yakni, nasionalisme bentuk baru.
Berarti, Jusuf Kalla dan pengusaha lainnya makin berkuasa di negeri ini?
Bisa jadi. Yang jelas, rakyat akan sadar. Yang diharapkan adalah pengusaha yang berhasil, bukan yang tidak bisa bayar utang, tapi setelah berkuasa hutangnya lunas. Kecenderungannya, rakyat di negara berkembang ramai-ramai memilih pengusaha. Bukan hanya di Indonesia, di Thailand juga, Taksin akan balik lagi. Dia pengusaha. Militer berada di belakangnya, mendukung demonstran. Rakyat turun demonstrasi karena dibayar. Begitu juga dengan Amerika. Kalau Obama gagal, akan diganti oleh pengusaha yang sukses memimpin perusahaannya, seperti Rockefeller dulu.
Apakah tatanan Liberal-Kapitalisme ini masih akan menguasai peradaban dunia pada beberapa dekade mendatang?
Semestinya, setelah tesis Liberal-Kapitalisme gagal mensejahterahkan dunia, kekhalifahan seharusnya muncul sebagai penggantinya. Karenanya, Islam perlu menjawab tantangan globalisasi dengan membangun “Kekhalifahan Universal”. Hanya sistem ini yang bisa mengatur dan mensejahterahkan dunia, karena tatanan Sekuler-Kapitalisme telah gagal. Tetapi, tesis kekhalifahaan saja tak cukup. Perlu dipersiapkan infrastrukturnya, termasuk civil society yang menopang dan perangkat lain. Persoalannya, negara-negara Islam sendiri tidak memberi contoh dalam mempraktikkan kekhalifahan ini.
Apakah Anda sepakat dengan konsep khilafah?
Khilafah itu adalah tujuan, bukan strategi. Jika sejak awal kita jadikan strategi, rontok kita, karena belum siap. Yang jelas, di masa datang Kekhalifahan akan menjadi new nation state, menggantikan sistem lama yang gagal. Salah satu caranya muncul melalui neo nasionalisme yang terbentuk secara islami. Negara-negara kecil, termasuk di Eropa akan menjadi satu. Disinilah pemimpin kharismatik akan muncul. Tapi hati-hati, jika pemimpinnya tidak mengarahkan dengan benar, jadinya justru tidak karuan. Ini sudah banyak yang meramal. Yang susah, menentukan kapan perubahan ini terjadi? Tapi ada juga yang berpendapat, kekhalifahan akan terjadi dengan sendirinya. Persoalannya, jika konsep universal ini dikibarkan dengan cara yang salah, orang Islam sendiri takut, termasuk saya, apalagi orang lain.
Apakah perubahan ini akan menimbulkan perang, setidaknya chaos di suatu kawasan?
Wallahu a’lam. Di sini saya menyarankan, pentingnya tentara kita bersatu saja. Tidak usah berjalan sendiri-sendiri, termasuk dalam Pemilu. Nanti rakyat akan melihat, karena tentara harus melindungi rakyat. Tapi setelah berhasil melindungi dan mendapat kepercayaan rakyat, jangan lantas keterusan, ingin mendapatkan kursi kepemimpinan seperti Julius Caesar. Setelah sukses melindungi dan mendapat kepercayaan rakyat, militer harus berhenti. Tenang, semua yang bergerak diawasi. Serahkan proses kepemimpinan pada rakyat untuk menentukan. Jika ini sukses, baru bisa jalan.
Anda katakan, negara-negara Islam tidak mencontohkan praktik kekhalifahan, lantas kita berkiblat ke mana?
Kita dianggap Islam pinggiran. Sentralnya di Timur Tengah, entah yang mana? Tapi jika Timur Tengah masih kacau, masa harus periferal. Akhirnya, kita kembali ke nasionalisme sendiri. Kita adalah orang Indonesia yang Muslim, bukan Muslim yang berkiblat ke Timur Tengah. Karenanya, jika khilafah yang dianut seperti yang ada di Timur Tengah saat ini, ya nanti dulu. Lebih baik mengurus negeri sendiri dulu.
Contoh, dalam sebuah rapat dengan negara-negara Timur Tengah, utusan Arab Saudi tidak mau ada pewakilan dari Iran, Turki dan Suriah. Mana bisa begini? Kita sarankan, “Sudahlah, jika terkait persoalan golongan lebih baik dibicarakan nanti.” Tetap saja mereka tidak mau. Mereka memilih tidak mengikuti rapat, jika ketiga negara itu dilibatkan. Karenanya, saya berpandangan, selama belum bisa bersatu, Khilafah Islamiyah tak bisa berpusat di Timur Tengah. Contoh lain, ketika berkumpul dengan badan intelijen negara Islam, mereka tidak memiliki garis perjuangan yang jelas. Akhirnya yang muncul adalah jaringan Osama bin Ladin yang lebih dipecaya rakyat.
Jika saat ini Anda memimpin umat Islam, apa yang akan Anda lakukan?
Pertama, mempersatukan. Bersatu pada tataran praktis dan operasional, baru menyatukan pada tataran falsafah dan ideologi. Jika sekarang meributkan falsafah, ada Sunni, Syi’ah, dan golongan lainnya akan ribut. Kita adalah jamaah yang kaffah. Kedua, mengikuti perkembangan zaman, kita harus modern tapi bukan terbaratkan. Kita jangan cuma mengenang kesuksesan masa lampau saja, tapi juga harus memikirkan dan mencari solusi kenyataan saat ini. Kita harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, membongkar feodalisme. Jadi tidak bisa mentang-mentang saya lebih tua dikatakan lebih islami ketimbang yang muda. Keempat, menyingkirkan ambisi pribadi. Jika masih ada kepentingan dan ambisi pribadi, minggir saja. Jangan menjadi khalifah, karena Allah SWT yang akan memilih. Khalifah bukan didapat dengan rebutan kursi kepemimpinan tapi komitmen pada perjuangan.***

Rabu, 23 Februari 2011

HENDROPRIYONO DUGA FASILITAS WISATA DI BINTAN PROYEK PEPESAN KOSONG

SUMBER : Detik News, Rabu, 23/02/2011
Adi Nugroho - detikNews




Jakarta - Akhir pekan ini, Presiden SBY dijadwalkan berkunjung ke Pulau Bintan dengan agenda meresmikan fasilitas wisata senilai Rp 30 triliun. Ada dugaan proyek tersebut tak lebih dari sekedar pepesan kosong karena investor asal Malaysia, yang mengerjakannya, tidak punya rekam jejak yang jelas.

"Proyek itu menurut saya fiktif. Pada 2007 sudah ada peletakan batu pertamanya oleh Menbudpar Jero Wacik dan sampai sekarang saya belum pernah dengar batu terakhirnya (proyeknya selesai -red)," kata mantan KaBIN, AM Hendropiyono di sela-sela Gramedia Book Fair di Istora, Senayan, Jakarta, Rabu (23/2/2011).

Hendro mengaku dirinya mendapatkan undangan untuk menghadiri acara peresmian proyek pariwisata di Pulau Bintan pada akhri pekan ini. Menurut undangan, disebutkan acara peresmian tersebut akan dihadiri oleh Presiden SBY.

Sepengetahuannya, proyek fasilitas wisata yang dibangun di desa Seboklagoi, Pulau Bintan, tersebut sudah mulai dibangun pada 2007 lalu. Namun pengerjaanya sempat lama terhenti akibat aksi penolakan warga setempat setelah mendengar salah satu fasilitas penunjang di dalam kompleks wisata itu adalah tempat perjudian.

"Saya kaget, karena proyeknya tidak terselesaikan. Warga menolaknya sebab akan ada casino," cetus Hendro.

Hal lain yang membuatnya ragu adalah investor pengelolanya yang berganti dari PT Wisata Siburia menjadi PT Rekayasa Prima, namun dengan orang yang sama, yaitu Mark Wee, seorang pengusaha berkewarganegaraan Malaysia yang rekam jejaknya dalam dunia usaha dianggap belum kompeten.

"Nilai proyek di Bintan ini Rp 30 triliun. Tetapi Mark Wee ini saya belum pernah dengar di proyek yang nilai Rp 1 milyar. Saya belum pernah lihat. Dia tidak ada rekam jejaknya," ungkap dia.

"Kalau ternyata proyek ini fiktif, nanti presiden lagi disalahkan. Padahal saya baca di media, presiden bilang ke pemda jangan sampai bikin proyek pepesan kosong nanti tidak berguna," tandasnya.

HENDROPRIYONO : KEKERASAN KEAGAMAAN ULAH INTELIJEN MUSUH

SUMBER : Radar Jambi, Rabu 23 Februari 2011

Jakarta - Mantan KaBIN AM Hendropriyono menduga tindak kekerasan keagamaan yang kembali terjadi belakangan ini tidak luput dari campur tangan kalangan intelijen. Terutama peran dari intelejen negara asing yang motif dan targetnya perlu ditelusuri lebih jauh.

"Ya itu pasti kerja intelijen musuh. Bukan intelejen pemerintah, pasti intelejen dari luar," kata Hendro yang di sela acara Gramedia Book Fair di Istora, Senayan, Jakarta, Rabu (23/2/2011).

Salah satu indikasi yang dia jadikan pedoman adalah pola kekerasan yang terjadi. Menurut dia, kekerasan agama bukan sesuatu kebudayaan atau kebiasaan bangsa Indonesia, sebab selama berabad-abad antar umat beragama di Indonesia tidak pernah saling mempermasalahkan perbedayaan yang ada di antara mereka.

"Budaya kita nggak seperti itu. Kalau tidak suka ke orang, ya diluruskan bukan digebukin," ujar Hendro yang mengepalai Badan Intelijen Nasional pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Di sisi lain terjadinya kekerasan tersebut juga menimbulkan keheranan bagi dirinya. Seharusnya tindakan yang demikian bisa dicegah sebab hingga saat ini keberadaan lembaga seperti Kodim dan Koramil di daerah-daerah masih kuat.

"Saya melihat banyak hal yang terbengkalai," sambung Hendro tanpa merinci hal apa yang terbengkalai tersebut.

Kamis, 07 Mei 2009

MENYOAL NASIONALISME PARA CAPRES

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 07 Mei 2009

Oleh: A.M. Hendropriyono*
Atmosfer politik Indonesia pascapemilu legislatif kini penuh dengan manuver para elite yang merupakan masinis kereta api partai-partai. Pembentukan suatu koalisi besar dengan lokomotif partai-partai nasionalis, seperti Golkar, PDIP, Gerindra, dan Hanura, sedang diusahakan. Yang akan menjadi pesaing adalah rangkaian kereta api yang lokomotifnya juga partai nasionalis, yaitu Partai Demokrat. Kedua lokomotif kaum nasionalis itu sama-sama sedang berusaha menarik gerbong partai-partai lain untuk menambah panjang rangkaian kereta api politik yang akan bersaing pada Pilpres 2009. PKS, PAN, PKB, PPP, PBR, dan beberapa partai lain sudah memilih masuk rangkaian mana. Selebihnya masih terus sibuk menghitung mana yang lebih menguntungkan diri atau partai masing-masing. Persaingan itu nanti apakah berbentuk kompetisi yang sehat ataukah jotos-jotosan sangat bergantung kepada moralitas para pemimpin yang merupakan masinis lokomotif-lokomotif tersebut. Kebergantungan kepada pemimpin memang merupakan karakter rakyat di negara-negara berkembang pada umumnya. Karena itu, Jenderal Napoleon Bonaparte dari Prancis pada abad ke-19 berkata bahwa moral singa terdapat pada segerombolan kambing yang dipimpin singa. Namun, sebaliknya, moral kambing terdapat pada segerombolan singa yang dipimpin kambing. Pemilihan presiden Republik Indonesia kelak apakah akan diwarnai oleh moral politik singa ataukah kambing bergantung kepada penampakan empiris dari kiprah para elite masyarakat kita yang sedang berlangsung sekarang ini. Persaingan Antarnasionalis Para masinis partai-partai kita selama ini hanya menyatakan kepada rakyat bahwa kereta mereka kelak akan berjalan stabil. Artinya, mereka akan membangun pemerintahan yang kuat, baik di kabinet maupun di parlemen. Mereka tidak mengatakan bahwa kereta api itu akan menuju ke mana sehingga rakyat yang mau menaiki menjadi bingung. Gerbong-gerbong yang berwarna-warni itu semua disebut nasionalis, walau tidak jelas nasionalis apa yang dimaksudkan. Kalau kedua rangkaian kereta api itu nasionalis dan menuju ke arah yang sama, mengapa kedua kereta itu harus bersaing? Kebingungan rakyat tersebut dapat membawa mereka kepada kesesatan. Membiarkan rakyat tersesat adalah sama dengan menyesatkan rakyat. Rakyat Indonesia menuntut kejelasan atas nilai dasar yang diusung setiap parpol yang mengaku nasionalis. Nilai dasar dari negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang sudah jelas bagi rakyat adalah Pancasila. Yang tidak jelas bagi rakyat adalah nilai instrumentalnya, sejak UUD 1945 diamandemen pada 2000. Akibat amandemen tersebut kini rakyat mengalami praksis kehidupan ideologi yang sangat semrawut. Dasar filsafat negara yang merupakan tanah di hutan Indonesia telah demikian labil sehingga menggoyahkan ketahanan pohon-pohon politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan agama yang tumbuh di atasnya. Karena itu, pada awal reformasi dulu, para purnawirawan TNI-Polri dan sebahagian elite politik bangsa pernah menyerukan agar pemerintah segera mengembalikan UUD 1945 sebagai nilai instrumental dalam mengatur kehidupan kenegaraan kita. Namun, presiden RI tidak dapat memenuhi seruan itu karena amandemen UUD 1945 telah memiliki legitimasi dan legalitas yang sesuai dengan sistem politik demokrasi. Kepala negara tidak mungkin melakukan dekret yang dapat membuat bubur untuk menjadi nasi kembali. Tidak ada penentangan politik yang signifikan dari partai-partai nasionalis saat itu dan tidak ada juga desakan dari TNI-Polri seperti yang terjadi pada 1959. Hal tersebut berarti bahwa mereka semua tidak keberatan untuk lebih baik membuat bubur yang sudah diamandemen empat kali itu menjadi nikmat disantap. Membuat bubur nikmat kini merupakan tugas pemerintahan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Tugas administrasi negara yang sangat berat itu tidak mungkin dapat dilakukan elite bangsa yang tidak berkualitas. Apalagi tanpa moral nasionalisme Pancasila. Bangsa Indonesia Hanya Satu Bubur kesejahteraan tidak akan kunjung dinikmati rakyat karena para elite bangsa masih saja tidak sadar bahwa amanat penderitaan rakyat Indonesia adalah lebih penting daripada mengejar nafsu pribadi menjadi presiden. Ambisi menjadi presiden bersemayam pada diri beberapa orang yang tidak patut akibat ketidakpercayaan mereka kepada cermin untuk berkaca diri. Orang-orang seperti itu tidak mungkin mampu memperjuangkan nasib rakyat yang semakin diperbodoh kebingungannya. Keadaan ini sama dengan kondisi rakyat Amerika Serikat pada abad ke-18, yakni zaman neraka wild west yang melahirkan pepatah All Chiefs, no Indians. Mereka lupa bahwa dasar negara kita (walaupun praksisnya kini masih sangat semrawut) adalah Pancasila yang lebih mengedepankan nilai kolektivitas daripada individualitas. Moralitas mementingkan diri sendiri atau partai semata-mata telah mendorong kaum elite kita menyusun rangkaian kereta politik, yang akan saling serobot dengan sesama kaum nasionalis pada Juni 2009. Gelanggang pemilihan presiden RI kelak tidak akan dipenuhi mereka yang bermoral kambing, apalagi singa. Atmosfer politik Indonesia bahkan akan lebih buruk daripada itu karena pengap oleh moralitas tikus pithi, binatang kecil pengerat menjengkelkan yang masing-masing sekarang sedang saling menata barisan. Rangkaian kekuatan tersebut akan bergerak gelombang demi gelombang, dengan membawa bahaya anarkisme. Bubur yang nikmat dapat gagal terwujud, bahkan mungkin malah ludes dimakan tikus-tikus pithi itu sendiri. Menghadapi ancaman tersebut, rakyat Indonesia harus segera diingatkan pada pesan Bung Karno: ''Jikalau engkau ditanya berapakah jumlah bangsa Indonesia, jawablah bahwa jumlah bangsa kita adalah satu.'' Bagi kaum nasionalis, rakyat yang berbeda suku, agama, ras, dan agolongan hanya punya satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Dengan mengingat pesan pemimpin besar revolusi, setiap individu anak bangsa harus menjaga terselenggaranya pilpres yang jauh dari segala bentuk huru-hara dan kekacauan, yang akan dibawa oleh moralitas anarkis dari tikus-tikus pithi. (*)
*) Jenderal TNI (pur), mahasiswa S-3 Jurusan Filsafat Universitas Gadjah Mada

Jumat, 24 April 2009

PERKIRAAN KEADAAN SINGKAT 2009

Sumber: Kompas, Jumat 24 April 2009
 
Ciri demokrasi adalah kontrol dari rakyat terhadap kerja para penentu kebijakan (policy makers) dan para pengambil keputusan (decision makers) di dalam melaksanakan pemerintahan negara.
Para penentu kebijakan yang dikontrol oleh rakyat adalah mereka yang sejak awal merupakan pilihan rakyat melalui suatu pemilihan calon anggota legislatif yang bebas. Sejak kita melakukan reformasi pada tahun 1998, banyak orang Indonesia menjadi keranjingan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Para caleg telah dibanjiri oleh mereka yang cenderung merupakan individu-individu, yang hanya terkenal ketimbang punya kemampuan.
Bagi sementara partai-partai politik, yang penting mereka memenangi kuantitas kursi (sits) di parlemen daripada kualitas mereka sebagai wakil rakyat.
Beberapa orang yang tidak percaya kepada cermin atau yang tidak pandai berkaca diri telah berani mengajukan diri duduk di badan terhormat penyelenggara pemilihan umum.
Arus demokratisasi yang kini telah menjadi suatu kekuatan liar ini menjadi sangat sukar untuk dibatasi oleh nalar yang sehat.
Dewan Perwakilan Rakyat kita dengan berbagai keterbatasannya telah menyatakan mereka fit and proper untuk memikul tanggung jawab yang mahaberat di negara Indonesia yang belum aman dalam berdemokrasi ini.
Di berbagai tempat di Indonesia telah diketemukan banyak sekali kesalahan yang memalukan. Di Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia ini saja telah diketemukan dalam satu rukun tetangga (RT) lebih kurang 10 anak kecil di bawah umur yang menerima surat pemberitahuan untuk menggunakan hak pilih mereka pada pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada pemilu kali ini.
Hal yang sama juga terjadi di luar negeri, sebagaimana contohnya di Singapura. Meskipun mekanisme penyelenggaraan oleh Kedutaan Besar RI sangat baik dan tertib, tata laksana dari daftar pemilih tetap Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sana sangat buruk.
Anak kecil berumur 9 tahun juga telah mendapat pemberitahuan hak seperti itu, sementara tenaga kerja wanita (TKW) penatalaksanaan rumah tangga yang legitim telah kehilangan hak pilihnya.
Ketika yang dirugikan protes, dengan mudah petugas yang bersangkutan melempar ke kebijaksanaan KPU ”Pusat”. Dengan gaya sentralistik jawaban dari KPU ”Pusat” tersebut, akhirnya adalah sang TKW kehilangan haknya.
Hak warga negara telah terampas begitu saja oleh ketidakmampuan penyelenggaraan yang merupakan awal dari proses utama demokrasi.
Secara persentase kuantitas mungkin dapat dikatakan kelak bahwa kesalahan tersebut sangat kecil, tetapi secara kualitas kesalahan itu bermakna sangat besar.
Pasalnya, para elite bangsa kita sudah banyak yang tahu bahwa tingkat kemajuan ekonomi Indonesia sekarang sebenarnya belum cukup mampu untuk menopang keberlanjutan demokrasi, apalagi dibarengi dengan proses politik yang berlangsung seperti ini.
Mekanisme penyelenggaraan kemarin yang relatif aman dan tertib menunjukkan betapa disiplin sosial rakyat masih dapat tegak oleh harapan akan hasil akhir yang mungkin kelak akan menggembirakan mereka. Namun, manakala hasil akhir proses politik demokrasi ini nanti ternyata mengecewakan, ranah ketidakpuasan (area of discontent) akan meningkat dengan cepat.
Sebagai pemicunya adalah krisis ekonomi dunia jika melanda Indonesia sebelum pemilihan presiden yang akan datang. Badai ekonomi tersebut dengan mudah akan mengempaskan biduk kecil demokrasi politik Indonesia, yang berpenghasilan per kapita dalam hitungan Boediono (Gubernur BI) berdasarkan purchasing power parity dollar AS tahun 2001 kira-kira hanya 4.000 dollar AS ini. Ketahanan biduk rakyat Indonesia masih sangat jauh dari stabilitasnya untuk mengarungi gelombang kritis samudra demokrasi yang setinggi 6.600 dollar AS.
Sejarah mengingatkan akan sistem politik demokrasi liberal yang pernah kita mulai dari pemilihan umum tahun 1955 yang sangat tertib, ternyata setelah 9 tahun lamanya harus berakhir secara menyedihkan.
Bung Karno atas desakan Tentara Nasional Indonesia terpaksa mengumumkan dekrit pada tahun 1959 untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Tidak terlalu sulit untuk meramalkan akhir dari suatu permulaan yang amburadul bagi keberlanjutan demokrasi kita pada tahun 2009 ini.
Barangkali memang benar, satu-satunya pelajaran yang diambil dari sejarah adalah bahwa orang tidak pernah belajar dari sejarah.***

AM Hendropriyono, Mantan Kepala Badan Intelijen Negara

Selasa, 23 Oktober 2007

MALAYSIA TERLAHIR SEBAGAI PECUNDANG

Sumber : Rakyat Merdeka, Selasa 23 Oktober 2007
Jakarta, RakyatMerdeka. Upaya "pencaplokan" negeri jiran Malaysia terhadap aset Indonesia tidak akan pernah berhenti. Demikian disampaikan bekas Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin. Setelah mempatenkan lagu rakyat Maluku, Rasa Sayange untuk promosi pariwisata, Oktober 2007, dan sebelumnya Desember 2002 telah memboyong Pulau Sipadan dan Ligitan, kini Malaysia masih juga mengincar kebudayaan Indonesia. Salah satunya, kata Hendro, adalah kesenian Wayang Kulit. Untuk mengetahui lebih jauh terkait hal ini, berikut wawancara Rakyat Merdeka dengan bekas menteri transmigrasi dan bekas menteri tenaga kerja di era Soeharto ini. Apa yang Anda ketahui tentang lagu "Rasa Sayange" yang kini dipatenkan Malaysia? Lagu Semalam di Malaya gubahan Saiful Bachri mulai tersohor ketika rakyat Indonesia mengenang perjuangan mereka membantu para patriot kemerdekaan Malaya melawan Inggris (Inggris termasuk Bangsa Dunia I pimpinan USA) pada 1948. Kurang lebih satu dekade kemudian, muncul lagu Pahlawanku Dirimba Raya, Kalimantan Utara, yang sama tersohornya ketika dilantunkan dengan merdu oleh Anna Manthovani untuk para sukarelawan Indonesia yang sedang membantu pejuang-pejuang Kalimantan Utara juga melawan Inggris, yang ingin memaksakan berdirinya Negara Federasi Malaysia. Lalu? Dalam suasana perang kemerdekaan Malaya (nama sebelum jadi Malaysia) maupun dalam perang gerilya melawan konsep Federasi Malaysia Di-Raja, para pejuang Indonesia di negeri jiran sana kerap mendendangkan lagu Rasa Sayang-sayange yang dipopulerkan rekaman Lokananta pada 1962, sebagai obat kerinduan mereka kepada segenap handai taulan yang ditinggalkan jauh di kampung halaman. Kini lagu rakyat Ambon itu telah diklaim sebagai lagu paten Malaysia, sebagaimana pula yang telah terjadi terhadap Batik dan Kebaya Jawa. Selain lagu "Rasa Sayange", kira-kira apa lagi yang akan dicaplok Malaysia? Bukan suatu hal yang muskil jika Wayang Kulit pun akhirnya juga dipatenkan Malaysia. Indikasinya? Sejak setahun belakangan ini sebuah channel TV Pemerintah Malaysia sibuk melakukan sosialisasi Wayang Kulit, dengan fokus Mr Tan sebagai dalang yang mengaku belajar dari gurunya seseorang Melayu. Kenapa hal itu mereka lakukan? Negeri itu (Malaysia) seolah sibuk merekayasa masa lalunya agar menjadi gemilang, untuk menunjang masa kininya yang mempesona oleh kemajuan-kemajuan di bidang sosial ekonomi dan militer, termasuk keberhasilan menerbangkan astronotnya, Sheik Muszaphar Shukor ke antariksa dalam wahana Soyuz milik Rusia (dulu bernama Uni Sovyet, pemimpin bangsa Dunia ke II). Dalam sejarahnya, bagaimana sih awal mula hubungan Indonesia-Malaysia? Dalam sejarah hubungan dengan Indonesia, posisi Malaysia terukir sebagai pecundang, ketika Sriwijaya di abad VI dan Majapahit di abad XIII merupakan bangsa yang dipertuan di Asia Tenggara. Setelah masuknya Islam, hegemoni Indonesia semakin nyata oleh serbuan Laksamana wanita Malahayati dari Aceh dan Ratu Kalinyamat dari Jepara, yang membuat porak porandanya benteng Portugis yang berkuasa di Malaka. Pada bulan September 1963 kegentaran menyelimuti para pemimpin Malaya (negara yang baru dimerdekakan Inggris 1957), ketika Bung Karno yang merasa Indonesia sebagai bangsa besar pemimpin bangsa-bangsa Dunia ke III (dulu: The New Emerging Forces) telah dihina dan dianggap sebagai kurcaci, mengumumkan konfrontasi terhadap Inggris untuk membubarkan Malaysia. Bisa diceritakan penyebab konfrontasi itu?Konfrontasi itu dipicu oleh Stephen Kalong Ningkan yang atas tekanan Inggris, mengumumkan persetujuan terbentuknya Malaysia, padahal referendum yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan menyertakan Indonesia sebagai pengawas, masih tengah berlangsung. Lalu? Pada tanggal 13 Februari 1964 Menlu Indonesia memanggil Leslie Fry, dubes Inggris di Indonesia dan menyatakan bahwa Malaysia adalah konsep neokolonialisme untuk mempertahankan kepentingan imperialis Inggris merampok kekayaan bukan hanya bangsa Kalimantan Utara, tetapi justru rakyat Indonesia. Untuk itu kepada Fry dengan tegas dinyatakan, bahwa Indonesia akan melakukan pengganyangan terhadap Malaysia. Implikasinya buat sekarang? Dengan kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa Federasi Malaysia akhirnya berdiri, terbuka kemungkinan tersimpannya rasa dendam terhadap Indonesia. Kegemilangan sejarah bangsa Indonesia masa lalu tidak mendukung kenyataan suramnya Indonesia masa kini. Kita terpaksa mengirim pembantu-pembantu rumah tangga (PRT) ke Malaysia, karena sempitnya lapangan kerja di dalam negeri. Termasuk balas dendam ke para TKI? Perasaan minderwaardig (rendah diri) Malaysia terhadap masa lalunya, ditambah dengan arogansi generasi muda Malaysia yang memandang rendah bangsa Indonesia sebagaimana sinyalemen Menlu Nur Hassan Wirajuda, telah menyebabkan terjadinya serangkaian tindak kekerasan dan pelecehan yang jauh melewati batas kepatutan terhadap bangsa Indonesia. Enam fraksi besar DPR, Kamis 11 Oktober 2007 dengan geram telah meminta agar pemerintah mengeluarkan travel warning bagi bangsa Indonesia ke Malaysia. "Ini lebih dari sekadar suatu peringatan biasa agar waspada dalam berpergian tersebut, bangsa Indonesia memerlukan suatu tindakan tegas, yang merubah secara drastis kebijakan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sebagai bekas menteri tenaga kerja, apa yang Anda usulkan? Negara-negara penerima TKI perlu segera dialihkan ke negara-negara yang manusianya telah memiliki peradaban, untuk dapat menghargai manusia lain, yaitu ke negara-negara Dunia I yang merupakan negara-negara yang sudah maju. Kalau tetap kirim ke Malaysia? Pengiriman pembantu-pembantu rumah tangga ke negara-negara bangsa dunia ke III yang masih cenderung memperlakukan pekerja kasar TKI terutama PRT sebagai budak-belian atau hamba-sahaya, dapat membuat kita semakin terpuruk menjadi bangsa dunia ke-IV. Klasifikasi seperti itu, bangsa dunia ke IV, tidak pernah ada dalam rumusan universal, sehingga berarti tidak mempunyai martabat sama sekali sebagai suatu bangsa". ***

AM Hendropriyono, Mantan Kepala BIN

Senin, 28 November 2005

ABDULLAH MAKHMUD HENDROPRIYONO: "AMERIKA SENDIRI TIDAK TAHU"


Umar al-Faruq berhasil kabur dari penjagaan ketat di penjara Bagram, Afganistan. Dunia pun terkejut. Peristiwa itu sebenarnya terjadi pada Juli lalu, namun kabarnya baru terkuak awal bulan ini. Faruq, menurut Amerika Serikat, berperan sebagai tangan kanan Usamah bin Ladin dalam organisasi Al-Qaidah. Dalam interogasinya, dia mengaku berada di belakang aksi pengeboman sejumlah gereja pada 2000 di berbagai tempat di Indonesia, serta mendalangi upaya pembunuhan Megawati Soekarnoputri ketika masih menjabat sebagai presiden.
Wajar jika pemerintah Indonesia merasa kecewa atas lolosnya Faruq. �Wah, kita kecewa berat," kata mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Abdullah Makhmud Hendropriyono. Hendropriyono bersama timnya menangkap Faruq di Bogor, Jawa Barat, 5 Juni 2002. Faruq hanya ditahan beberapa hari, kemudian dikirim ke penjara Bagram di bawah pengawasan tentara Amerika Serikat. Namun, Jenderal Purnawirawan berusia 60 tahun ini menolak jika penangkapan itu disebut sebagai order dari Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA).
Koran Washington Post pekan lalu melaporkan bahwa Hendropriyono bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam bidang apa pun. Hendro disebut-sebut kerap menjalin kontak dengan mantan Direktur CIA George Tennet. Sejak adanya kerja sama itu, Badan Intelijen Nasional (BIN) mendapatkan tangkapan-tangkapan besar.
Hendropriyono menampik klaim sepihak tersebut. Menurut dia, penangkapan Umar al-Faruq adalah hasil kerja BIN yang telah menyusup dalam jaringan teroris itu lama sebelumnya. Bahkan dia mengaku sempat kebingungan mendeportasi Faruq karena semua negara menolaknya. Wartawan Tempo Agung Rulianto, Hanibal W.Y. Wijayanta, dan Widiarsi Agustina menemui Hendropriyono di kantor pengacara Hendropriyono Law Office di Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu. Inilah petikan wawancara tersebut:
Mengapa Umar al-Faruq bisa lolos dari penjara Bagram, Afganistan, yang dijaga superketat?
Tahanan bisa lepas itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, melarikan diri sendiri. Kemungkinan kedua, dia melarikan diri dengan dibantu orang dalam. Nah, kalau orang bisa lepas, padahal penjaranya ketat, itu pasti dibantu. Pada kemungkinan kedua itu bisa jadi dilepas untuk mendapatkan yang lebih besar dari dia. Atau, kemungkinan dilepas untuk ditiadakan. Jadi, dia dilepas lalu ditangkap, tapi dalam keadaan mati. Kemungkinan itu sehari-hari dalam dunia intelijen.
Apakah Al-Faruq dilepas untuk membongkar jaringan teroris di Indonesia, seandainya memang dilepas?
Kalau rencana itu dilakukan tanpa koordinasi dengan Kepala BIN atau Presiden, maka ini perbuatan sangat bodoh, karena pasti akan gagal. Waktu dia kita tangkap (di Bogor, Jawa Barat, Juni 2002), walau cuma beberapa hari, kita sudah tahu network-nya. Kalau dia kembali, gampang kita tangkap saja. Ya, kalau tertangkap hidup. Kalau mati? Kecuali dipakai untuk tempat lain, kita tidak tahu, karena kita tidak cukup data.
Apa reaksi Anda ketika mendengar Al-Faruq lepas, sebab dulu tim Anda yang menangkap?
Wah, kecewa berat. Kita mendapat dia bukan diberi tahu Amerika seperti yang disebut-sebut selama ini. Amerika sendiri tidak tahu. Jadi, ketika peristiwa Poso meletus, anak buah saya menemukan beberapa orang asing ada di sana. Orang asing ini ada di kedua pihak yang bertikai. Tetapi yang ketahuan memberikan hasutan, penggalangan, dan sebagainya adalah Umar Faruq. Ada dokumen berupa rekaman film yang dibuat Seyam Reda (warga negara Jerman keturunan Arab) setelah dia kita tangkap (September 2002). Mukanya (Faruq) jelas, orangnya berbahasa arab dan di film itu diterjemahkan oleh Nasir.
Maksud Anda Nasir Abas, mantan Ketua Mantiqi III di Jamaah Islamiyah?
Nah! Apakah Nasir Abas yang itu atau Nasir yang lain, saya belum sempat tanya. Karena saat Nasir Abas sudah turun dan bisa dipakai polisi, saya tidak lagi menjabat. Kalau film itu diputar lagi, kita bisa lihat benar dia atau bukan.
Jadi, keberadaan Umar Faruq itu infonya bukan dari Amerika Serikat?
Tidak, tidak sama sekali. Makanya itu digulir-gulirkan oleh siapa, kita tidak tahu. Mungkin kelompok mereka juga. Setelah kita tangkap, kita kebingungan siapa orang ini. Karena waktu kita periksa dia seperti orang bloon saja. KTP-nya aspal. Makanya, pada 2001 saya sudah katakan, awas ada orang asing bermain di Poso. Wah, semuanya membantah, termasuk penguasa setempat. Mengapa saya katakan? Supaya masyarakat ikut berpartisipasi dan merazia juga.
Mengapa kemudian dia dideportasi?
Kesalahannya kan jelas menghasut. Waktu kita mau bawa dia ke pengadilan ditanyakan bukti. Kita bawa film. Katanya, film tidak bisa menjadi bukti, kaset juga tidak bisa. Terus apa? Saksi juga susah, sebab orang-orang pada tidak mau karena takut. Bagaimana mau kita bawa ke hukum kita? Kapolri meminta diusut di negeri kita. Saya bilang ini bukan soal locus delicti (tempat terjadinya perbuatan pidana). Ini cerita orang asing main di tempat kita sehingga bangsa kita bunuh-bunuhan. Lalu kita pikir sebaiknya kita deportasi saja orang ini. Masalahnya, mau dideportasi ke mana? Dia tidak mengaku asalnya dari mana. Dia bilang orang Kuwait, terus Kuwait bikin press conference menolak. Kita pulangkan ke Pakistan, dia bilang bukan orang Pakistan. Kedutaan Pakistan juga menolaknya.
Bagaimana akhirnya Anda menyelesaikannya?
Kita saling tukar catatan. Our enemy's enemy is our friend (musuhnya musuh adalah teman kita), karena kan tidak ada teman atau musuh sejati. Eh, Pakistan barusan menangkap Abu Zubaida yang lalu dipinjam Amerika Serikat karena dia pimpinan Al-Qaidah. Abu Zubaida bilang, ini (Umar Faruq) anak buah saya. Nah, jadi bukannya kita mempersembahkan seperti Tempo bilang. Kita itu siapa saja, mau Amerika, mau Rusia, mau Cina, silakan saja. Itu makanya saya bilang, Al-Qaidah main di Poso, bukan Jamaah Islamiyah, bukan yang lain.
Saat penangkapan Umar Faruq, disebut-sebut peran Abdul Haris yang diduga agen BIN. Apakah dia disusupkan ke jaringan ini sejak awal?
Sebelum saya jadi Kepala BIN, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Nasional) dan Bais (Badan Intelijen Strategis dari militer) anggotanya sudah menyusup ke mana-mana. Ada yang jadi wartawan, kelompok mahasiswa, ada juga yang sekolah beneran sampai jadi dokter. Jadi, kalau nama memang susah kita cari. Banyak sekali nama Abdul Haris di BIN. Nah Abdul Haris siapa? Karena saya memang umumkan ke semua anggota, saya tak butuhkan nama. Jadi, nama bisa ganti.
Abdul Haris yang mengaku mendapat proyek pemasangan karpet di BIN.
Wah, kalau orang-orang operasional bisa siapa saja. Seperti nyewa, ngontrak, jadi mahasiswa, itu kan bisa-bisanya bagaimana mereka bersiasat. Ada yang intel Melayu yang masuknya ketahuan. Ada yang pintar masuknya tidak ketahuan sampai dapat posisi tinggi. Jadi, dalam kita menentukan sasaran, kita mendapat masukan dari informan. Mereka ini hanya memberi info, tetapi tidak melakukan tindakan apa-apa. Sementara ada juga agen kita di sana. Terakhir yang sangat meyakinkan saat kita tangkap Seyam Reda. Seyam Reda ini contoh bahwa ternyata saya tidak salah tangkap meskipun sebelumnya saya sempat ragu.
Apa saja yang dilakukan intelijen saat menyusup?
Mereka melakukan tiga hal, penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Pengamanan itu bagaimana cara dia mengamankan dirinya, penyelidikan bagaimana dia masuk ke sasaran-sasaran atau ikut memonitor, kemudian menggalang dan mengkondisikan dengan cara merangkul. Jadi, kalau kita sudah masuk, orang itu kita rangkul. Tetapi kalau sudah tidak bisa, kita cari siapa musuh dia. Musuhnya ini yang kita garap. Makanya kita (minta) izin untuk menahan orang selama empat hari dan keluarganya kita kasih tahu-begitu saja saya tidak dikasih.
Dikhawatirkan akan menjadi represif seperti zaman dahulu.
Lho, kalau zaman dahulu kan tidak ada aturannya. Nah, sekarang diatur dong dalam satu organisasi itu, siapa yang boleh diambil.
Misalnya?
JI yang begitu kecil saja tidak semuanya setuju dengan teror, di antaranya Nasir Abas yang sejak awal tidak setuju. Jadi, yang kita pegang Nasir. Waktu di Poso saya penasaran apakah ini Nasir Abas. Bagaimana caranya supaya gue bisa ambil dia. Tetapi kalau itu sampai saya ambil, pasti ramai. Karena itu saya ngotot ngincar dia. Eh, sekarang ditangkap dan identitasnya terbuka karena bom Bali. Kalau sudah terbuka kan tidak ada gunanya. Paling disuruh nulis buku.
Apakah intelijen kita juga terlibat dalam penangkapan Hambali?
Tidak. Tetapi saya menulis pertanyaan yang saya kirim ke sana (Thailand, tempat Hambali ditahan), lalu dikasih jawaban dari sana. Banyak pertanyaan tentang situasi Indonesia, hanya tidak bisa dipakai untuk menyeret ke hukum, karena orangnya harus dihadirkan. Nah, cap yang diberikan kepada saya, apalagi setelah saya pensiun, bahwa saya bonekanya Amerika. Padahal, saya tidak kenal sama si Bush. Satu-satunya orang Amerika yang saya kenal yang kerja di bengkel BMW... hahaha!
Bagaimana upaya kerja sama intelijen antarnegara?
Saya kan dulu Ketua Organisasi Intelijen Negara-negara Islam. Kalau kita kumpul itu saling bagi informasi. Kalau saya usulkan kerja sama, kita itu lebih dekat ke Pakistan, karena di situ sarangnya. Kalau di sini kan cuma sarang-sarangan. Mereka sekolahnya di Pakistan semua. Kemudian muncul konsep enlightening moderation dari Pervez Musharraf (Presiden Pakistan). Pemerintah Pakistan mensubsidi semua pesantren di sana, jadi tidak boleh swasta. Artinya, kurikulumnya juga disubsidi dan dibina. Musharraf bicara kepada saya: "Sekarang saya kasih (santri Pakistan) pelajaran ilmu pengetahuan tinggi agar mereka tertarik. Daripada hanya memperdalam filsafat, nanti ngomongnya di awang-awang." Pesantren di sana disuruh memilih, yang mau kedokteran, mau teknologi pertanian, pemerintah menyiapkan.
Bagaimana Anda melihat perburuan pasangan Dr Azahari dan Noor Din Top?
Saya berani bilang sesudah Azahari mati, Noor Din Top akan segera tertangkap, karena simpul-simpulnya pasti sudah pada ketakutan. Mereka akan berpikir, Azahari yang orang penting dan dilindungi saja tertangkap, apalagi saya. Ini pasti ada yang membocorkan. Makanya, kalau ada orang yang datang, pasti mereka akan bilang, �Saya tidak mau ikut-ikut lagi."
Bukankah di luar masih ada Zulkarnaen, Umar Patek, Dulmatin yang bisa melakukan balas dendam?
Ya, tapi mereka kan tetap tidak bisa sendiri. Mereka harus cari dulu orang yang bisa dipercaya. Mereka pasti mengira orang-orang yang dekat mereka jangan-jangan intel. Itu kan dia tetap takut. Saya kok tidak melihat mereka sebagai bahaya. Karena mereka harus merekrut lagi orang-orang yang bisa dipercaya. Berarti itu mulai dari anaknya sendiri, keponakan, dan sebagainya. Itu makan waktu, baru dia akan main lagi.
Bagaimana dengan kader-kader di bawah mereka?
Memang mereka tidak ada istirahat. Kita harus pandai membaca mereka karena ini perang. Mereka ini kan berangkat ke Afganistan yang sedang perang melawan Soviet. Kita mengirimkan orang menjadi mujahidin di sana, padahal itu melanggar UUD. Tetapi setelah menang mereka terkejut, mengapa jadinya Taliban yang mendapat kekuasaan, padahal mereka yang perang. Nah, orang-orang seperti Ja'far Umar Thalib: dia pernah bertemu Usamah Bin Ladin saat masih pakai dasi, sementara dia sudah perang. Tahu-tahu sekarang Usamah yang jadi bosnya, sementara dia terlempar. Nah, orang-orang yang kecewa pada keadaan ini bisa dipakai intelijen.
Nama Anda disebut-sebut dalam kasus kematian aktivis Munir. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya itu kan leher saja, dan saya tidak pernah jadi yang nomor satu. Jadi, saya itu dikiranya selalu sebagai operator. Bagi saya, itu bukan barang baru. Mulai Theys (Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua), saya juga disebut yang membunuh. Bahkan Tempo pun sampai sekarang belum meralat, padahal sudah terbukti bukan saya. Soal Warsidi (saat itu Hendro menjadi Komandan Korem Garuda Hitam Lampung, 1989) saja, yang disuruh tanggung jawab kan saya. Memangnya waktu itu saya tidak punya atasan? Waktu itu kan atasan saya ngumpul semua di sana. Kok, jadi saya yang disebut? Tetapi setiap kali ditanya siapa atasannya, ya lihat saja sendiri. Bos saya datangnya pakai helikopter ke sana-sini. Eh, saya yang dibilang menyerbu pakai helikopter. Padahal, sampai waktu itu saya belum pernah naik heli. Bagi saya, seorang perwira tidak boleh lempar badan, kecuali di pengadilan, karena disumpah.
Apakah Anda pernah diminta menjadi saksi terdakwa Pollycarpus yang disebut agen BIN dalam kasus pembunuhan Munir?
Kalau dipanggil, saya mau. Tetapi kan saya tidak kenal, jadi biarkan saja. Wong namanya saja aneh. Saya kira orang Ambon, ternyata orang Jawa. Makanya saya tidak takut, silakan saja. Wong saya tidak ngerasa. Dan saya tidak bodoh begitu. Saya kan sudah tua di intelijen. Masak, begitu caranya kalau saya menyuruh orang yang saya tidak kenal. Mana mungkin? Tolol amat.